UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 5 TAHUN 1990
(5/1990)
Tentang
KONSERVASI SUMBER
DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan
ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan
adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan
dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa
kini maupun masa depan
b. bahwa pembangunan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari
pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
c. bahwa unsur-unsur sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan
yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah
satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan
sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka
diperlukan langkah-langkah konservasi schingga sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat
dengan pembangunan itu sendiri;
e. bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan
pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah
tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
f. bahwa peraturan
perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur
secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
g. bahwa sehubungan dengan
hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu Undang-undang;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20
ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun
1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3299);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya alam hayati adalah
unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan)
dan sumber daya alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur
nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam
hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati
maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis
sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.
5. Satwa adalah semua jenis
sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan
yang hidup di alam bebas dan/atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian
jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua
binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih
mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh
manusia.
8. Habitat adalah lingkungan
tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan
suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah
kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau
keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan
terhadap habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu
kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang
telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan
dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman
national adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman
hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan
dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
16. Taman
wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk
pariwisata dan rekreasi alam.
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber
daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat.
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari
sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.
BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM
PENYANGGA KEHIDUPAN
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan
merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang
menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga
kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan :
a. wilayah tertentu sebagai
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas
tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan
wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan
tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga
kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami dan/atau oleh karena
peinanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya
rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.
BAB III
PENGAWETAN
KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA BESERTA
EKOSISTEMNYA
Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan :
a. pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.
Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan
kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.
Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi
semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di
habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan
jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM
Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.
Pasal 15
Kawasan suaka alam selain
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka
alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang
diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka
alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan
kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang
budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemeritah.
Pasal 18
(1) Dalam rangka kerja saina
konservasi internasional, khususnya dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan
sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka
alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang
melakukatn kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan
kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat ( 1) tidak termasuk kegiat an pembinaan Habitat untuk
kepentingan satwa di dalam suaka marga satwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan
kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan
dan satwa lain yang tidak asli.
BAB V
PENGAWETAN JENIS
TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa
digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang
dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak
dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam :
a. tumbuhan dan satwa dalam
bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang
populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki,
merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
mati;
c. mengeluarkan satwa yang
dilindungi dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau
memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak,
memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang
satwa yang dilindungi.
Pasal 22
(1) Pengecualian dari larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis
tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan
menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan
dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan
manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Apabila diperlukan, dapat
dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Apabila terjadi pelanggaran
terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa
tersebut dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke
habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak
memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Pasal 25
(1) Pengawasan jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau
pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA
LESTARI
SUMBER DAYA ALAM
HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar.
Pasal 27
Pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
kawasan.
Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung,
dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN
ALAM
Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan
wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Kawasan pelestarian alam
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing
kawasan.
Pasal 32
Kawasan taman nasional dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona
lain sesuai dengan keperluan.
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona
inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan
zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona
lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana
kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan
dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan
rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
Dalam keadaan tertentu dan sangat
diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam
hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan
dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian
atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS
TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan
pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT
Pasal 37
(1) Peranserta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan
oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan
peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan
dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN
TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat
menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnva, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal
seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan
penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan
bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani
berita acara;
g. menghentikan penyidikan
apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
(1) Barangsiapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00(seratusjuta rupiah).
(3) Barangsiapa karena
kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratusjuta rupiah).
(4) Barangsiapa karena
kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata
yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan
sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang
barti berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat mulai berlakunya
Undang-undang ini maka:
1. Ordonansi Perburuan
(Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);
2. Ordonansi Perlindungan
Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan
Madura (Jachtcrdonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam
(Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44
Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Konservasi Hayati.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10
Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 10
Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar