UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2002
TENTANG
GRASI
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa
untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden
b.
bahwa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk
berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dipandang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat;
c.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Grasi;
Mengingat :
1.
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan
:
1.
Grasi
adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
2.
Terpidana
adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP
PERMOHONAN DAN PEMBERIAN GRASI
Pasal 2
1.
Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
2.
Putusan
pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3.
Permohonan
grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali,
kecuali dalam hal :
a.
terpidana
yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b.
terpidana
yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
diterima.
Pasal 3
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan
putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Pasal 4
1.
Presiden
berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
2.
Pemberian
grasi oleh Presiden dapat berupa :
a.
peringanan
atau perubahan jenis pidana;
b.
pengurangan
jumlah pidana; atau
c.
penghapusan
pelaksanaan pidana.
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN
DAN PENYELESAIAN
PERMOHONAN GRASI
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan
Grasi
Pasal 5
1.
Hak
mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.
2.
Jika
pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama.
Pasal 6
1.
Permohonan
grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
2.
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
3.
Dalam
hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh
keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
Pasal 7
1.
Permohonan
grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.
Permohonan
grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu
tertentu.
Pasal 8
1.
Permohonan
grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis
oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
2.
Salinan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung.
3.
Permohonan
grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat
terpidana menjalani pidana.
4.
Dalam
hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga
Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan
salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan
grasi dan salinannya.
Bagian Kedua
Penyelesaian
Permohonan Grasi
Pasal 9
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua
puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan
salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.
Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan
tertulis kepada Presiden.
Pasal 11
1.
Presiden memberikan
keputusan atas permohonan grasi
setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
2.
Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
3.
Jangka
waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 12
1.
Keputusan
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada
terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
2.
Salinan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
a.
Mahkamah
Agung;
b.
Pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama;
c.
Kejaksaan
negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
d.
Lembaga
Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau
keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat
dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi
diterima oleh terpidana.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
1.
Dalam
hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan
peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak
terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.
2.
Keputusan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan
kembali diterima Presiden.
3.
Ketentuan
mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Permohonan grasi yang belum mendapat
penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan
dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 Nomor 40) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
1.
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
2.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22
Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 22 Oktober
2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2002 NOMOR 108
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT KABINET
RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd.
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2002
TENTANG
GRASI
I.
UMUM
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pada saat ini pengaturan mengenai grasi
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga
tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat
ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi,
Undang-Undang tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan
yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan
dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan mengatur pula
penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika diajukan permohonan grasi. Hal
tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya
penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga
penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu birokratis.
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan
Undang-Undang yang baru.
Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai
grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan
yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan
putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan
persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap
putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam
bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.
Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau
menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak
berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap
terpidana.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang
grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan
mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan
pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk
mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan
permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan
pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta
ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali
terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan
grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan
dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali
lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi
terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam
Undang-Undang ini diatur percepatan tata cara penyelesaian permohonan grasi
dengan menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian
permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi, terpidana langsung menyampaikan
permohonan tersebut kepada Presiden, dan salinan permohonan tersebut
disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk
diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak permohonan
grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak
menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang
ini.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
1.
putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2.
putusan
pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3.
putusan
kasasi.
Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah
pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan
militer yang memutus perkara pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewajiban panitera untuk memberitahukan
secara tertulis hak terpidana untuk mengajukan grasi, berlaku pula dalam hal
putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah isteri
atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung
terpidana.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “berkas perkara” adalah
termasuk putusan pengadilan tingkat pertama, serta putusan pengadilan tingkat
banding atau kasasi jika terpidana mengajukan banding atau kasasi.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b dan huruf c
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional
Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada pengadilan di lingkungan
Peradilan Militer yang memutus perkara pidana pada tingkat pertama dan oditurat
militer yang menuntut perkara terpidana.
Huruf d
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional
Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Militer tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4234
Tidak ada komentar:
Posting Komentar