PERATURAN
PEMERINTAH (PP)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 41 TAHUN 1993 (41/1993)
5 JULI 1993 (JAKARTA)
Tentang: ANGKUTAN JALAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai angkutan jalan;
b. bahwa
untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang
perlu mengatur ketentuan mengenai angkutan jalan dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480) jo.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Mulai berlakunya
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3494);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG ANGKUTAN JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat
lain dengan menggunakan kendaraan;
2. Kendaraan
adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor
atau kendaraan tidak bermotor;
3.
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang
berada pada kendaraan itu;
4.
Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk
dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran;
5. Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda 2
(dua) atau 3 (tiga) tanpa rumah-rumah, baik dengan atau tanpa kereta samping;
6. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor
yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk
tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan
bagasi;
7. Mobil bus adalah setiap kendaraan bermotor yang
dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk empat duduk
pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi;
8. Mobil
barang adalah setiap kendaraan bermotor selain sepeda motor, mobil penumpang,
mobil bus dan kendaraan khusus;
9. Taksi
adalah kendaraan umum dengan jenis mobil penumpang yang diberi tanda khusus dan
dilengkapi dengan argometer;
10.
Perusahaan angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang
dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan;
11.
Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan
menurunkan orang dan/atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan
kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi;
12.
Trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang
dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan
tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal;
13.
Jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan
jaringan pelayanan angkutan orang;
14.
Trayek tetap dan teratur adalah pelayanan angkutan yang dilakukan dalam
jaringan trayek secara tetap dan teratur, dengan jadwal tetap atau tidak
berjadwal;
15.
Menteri adalah menteri yangbertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
BAB II
ANGKUTAN ORANG
Bagian
Pertama
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Pasal 2
Pengangkutan
orang dengan kendaraan bermotor dilakukan dengan menggunakan sepeda motor,
mobil penumpang, mobil bus dan kendaraan khusus.
Pasal 3
(1) Di
daerah yang sarana transportasinya belum memadai, pengangkutan orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan dengan mobil barang.
(2)
Pengangkutan orang dengan menggunakan mobil barang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib memenuhi persyaratan :
a. ruangan
muatan dilengkapi dengan dinding yang tingginya sekurang-kurangnya 0,6 m;
b.
tersedia luas lantai ruang muatan sekurang-kurangnya 0,4 m2 per penumpang;
c.
memiliki dan membawa surat keterangan mobil barang mengangkut penumpang.
Bagian
Kedua
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Pasal 4
Pengangkutan
orang dengan kendaraan umum dilakukan dengan menggunakan mobil bus atau mobil
penumpang.
Pasal 5
Pengangkutan
orang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilayani dengan
:
a. trayek tetap dan teratur; atau
b. tidak dalam trayek.
Bagian
Ketiga
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Dalam Trayek Tetap dan Teratur
Pasal 6
(1) Untuk
pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek tetap dan teratur,
dilakukan dalam jaringan trayek.
(2) Jaringan
trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 7
(1)
Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri dari :
a. trayek
antar kota antar propinsi yaitu trayek yang melalui lebih dari satu wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I;
b. trayek antar kota dalam propinsi yaitu trayek yang melalui antar Daerah
Tingkat II dalam satu wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. trayek kota yaitu trayek yang seluruhnya berada dalam satu wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II atau trayek dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
d. trayek pedesaan yaitu trayek yang seluruhnya berada dalam satu wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II;
e. trayek lintas batas negara yaitu trayek yang melalui batas negara.
(2)
Jaringan trayek lintas antar negara ditetapkan dengan Keputusan Menteri
berdasarkan perjanjian antar negara.
Pasal 8
(1)
Trayek antar kota antar propinsi dan trayek lintas batas negara diselenggarakan
dengan memenuhi ciri-ciri pelayanan sebagai berikut:
a. mempunyai jadwal tetap;
b. pelayanan cepat;
c. dilayani oleh mobil bus umum;
d. tersedianya terminal penumpang tipe A, pada awal pemberangkatan,
persinggahan, dan terminal tujuan;
e. prasarana jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas jalan.
(2)
Trayek antar kota dalam propinsi diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri
pelayanan sebagai berikut :
a. mempunyai jadwal tetap;
b. pelayanan cepat dan/atau lambat;
c. dilayani oleh mobil bus umum;
d. tersedianya terminal penumpang sekurang-kurangnya tipe B, pada awal
pemberangkatan, persinggahan, dan terminal tujuan;
e. prasarana jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas jalan.
(3)
Trayek kota terdiri dari :
a. Trayek utama yang diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan :
1) mempunyai jadwal tetap;
2) melayani angkutan antar kawasan utama, antara kawasan utama dan kawasan
pendukung dengan ciri melakukan perjalanan ulang-alik secara tetap dengan
pengangkutan yang bersifat massal;
3) dilayani oleh mobil bus umum;
4) pelayanan cepat dan/atau lambat;
5) jarak pendek;
6) melalui tempat-tempat yang ditetapkan hanya untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang.
b. Trayek
cabang yang diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan :
1) mempunyai jadwal tetap;
2) melayani angkutan antar kawasan pendukung, antar kawasan pendukung dan
kawasan pemukiman;
3) dilayani dengan mobil bus umum;
4) pelayanan cepat dan/atau lambat;
5) jarak pendek;
6) melalui tempat-tempat yang telah ditetapkan untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang.
c. Trayek
ranting yang diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan :
1) melayani angkutan dalam kawasan pemukiman;
2) dilayani dengan mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum;
3) pelayanan lambat;
4) jarak pendek;
5) melalui tempat-tempat yang telah ditetapkan untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang.
d. Trayek
langsung diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan :
1) mempunyai jadwal tetap;
2) melayani angkutan antar kawasan secara tetap yang bersifat massal dan
langsung;
3) dilayani oleh mobil bus umum;
4) pelayanan cepat;
5) jarak pendek;
6) melalui tempat-tempat yang ditetapkan hanya untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang.
(4)
Trayek pedesaan diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan sebagai berikut :
a. mempunyai jadwal tetap dan/atau tidak berjadwal;
b. pelayanan lambat;
c. dilayani oleh mobil bus umum dan/atau mobil penumpang umum;
d. tersedianya terminal penumpang sekurang-kurangnya tipe C, pada awal
pemberangkatan dan terminal tujuan;
e. prasarana jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas jalan.
Bagian
Keempat
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Umum
Tidak Dalam Trayek
Pasal 9
Pengangkutan
orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek terdiri dari :
a. pengangkutan dengan menggunakan taksi;
b. pengangkutan dengan cara sewa;
c. pengangkutan untuk keperluan pariwisata.
Pasal 10
(1)
Pengangkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a merupakan pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi
terbatas.
(2)
Wilayah operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a.
wilayah administratif Kotamadya Daerah Tingkat II atau wilayah administratif
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. dalam
keadaan tertentu wilayah operasi taksi dapat melampaui :
1)
wilayah administratif Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu propinsi;
2)
wilayah administratif Kotamadya Daerah Tingkat II dan melewati lebih dari satu
propinsi;
3)
wilayah administratif Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(3)
Wilayah operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 11
(1)
Pengangkutan dengan cara sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b
merupakan pelayanan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dengan
wilayah operasi tidak terbatas.
(2)
Pengoperasian pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
mobil penumpang umum.
Pasal 12
(1)
Pengangkutan untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c merupakan pelayanan angkutan ke dan dari daerah-daerah tujuan wisata.
(2)
Kendaraan bermotor yang digunakan untuk pengakutan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib menggunakan mobil bus umum dengan tanda khusus.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (22) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri setelah mendengar pendapat Menteri yang bertanggung
jawab di bidang Pariwisata.
BAB III
ANGKUTAN BARANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 13
(1)
Pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor pada dasarnya dilakukan dengan
menggunakan mobil barang.
(2)
Pengakutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. barang
umum;
b. bahan berbahaya, barang khusus, peti kemas, dan alat berat.
(3)
Pengakutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
menggunakan sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus dengan ketentuan jumlah
barang yang diangkut tidak melebihi daya angkut tipe kendaraannya.
(4)
Pengangkutan barang dengan menggunakan sepeda motor sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) harus memenuhi persyaratan :
a.
mempunyai ruang muatan barang dengan lebar tidak melebihi stang kemudi;
b. tinggi ruang muatan tidak melebihi 900 milimeter dari atas tempat duduk pengemudi.
Pasal 14
(1)
Pengangkutan bahan berbahaya diklasifikasikan menjadi pengangkutan bahan :
a. mudah
meledak;
b. gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau pendinginan tertentu;
c. cairan mudah menyala;
d. padatan mudah menyala;
e. oksidator, peroksida organik;
f. racun dan bahan yang mudah menular;
g. radioaktif;
h. korosif;
i. berbahaya lain.
(2)
Kendaraan bermotor pengangkut bahan berbahaya harus;
a.
memenuhi persyaratan keselamatan sesuai sifat bahan berbahaya yang diangkut;
b. diberi tanda-tanda tertentu sesuai bahan berbahaya yang diangkut.
(3)
Pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan bermotor pengangkut bahan berbahaya,
harus memiliki kualifikasi tertentu sesuai sifat bahan berbahaya yang diangkut.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkutan bahan berbahaya,
tanda-tanda tertentu, kualifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
(1)
Pengangkutan barang khusus diklasifikasikan atas:
a. pengangkutan
barang curah;
b. pengakutan barang cair;
c. pengangkutan barang yang memerlukan fasilitas pendinginan;
d. pengangkutan tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup;
e. pengangkutan barang khusus lainnya.
(2)
Pengangkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus :
a.
memenuhi persyaratan pemuatan dan pembongkaran untuk menjamin keselamatan
barang yang diangkut dan pemakai jalan lain;
b. menggunakan kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan peruntukan sesuai
jenis barang khusus yang diangkut.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pemuatan dan pembongkaran dan
persyaratan peruntukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 16
(1)
Pengangkutan peti kemas dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor khusus
angkutan peti kemas.
(2)
Pengangkutan petikemas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus :
a.
melalui lintas yang ditetapkan untuk angkutan peti kemas;
b. memperhatikan persyaratan keselamatan muatan;
c. parkir dan bongkar-muat pada tempat-tempat yang ditetapkan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai lintas dan persyaratan pengangkutan peti kemas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1)
Pengangkutan alat berat diklasifikasikan atas :
a. alat
berat yang karena sifatnya tidak dapat dipecah-pecah sehingga beban melampaui
muatan sumbu terberat;
b. alat berat yang karena dimensinya melebihi ukuran maksimum yang telah
ditetapkan.
(2)
Pengangkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan :
a. cara
pemuatan dilakukan dengan baik agar alat berat yang diangkut tidak jatuh dari
kendaraan bermotor selama pengangkutan;
b. pemuatan dan pembongkaran dilakukan dengan alat tertentu;
c. menyalakan lampu isyarat berwarna kuning selama perjalanan;
d. waktu pengoperasian kendaraan bermotor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengangkutan alat
berat diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PERIZINAN ANGKUTAN
Bagian
Pertama
Izin Usaha Angkutan
Pasal 18
(1)
Kegiatan usaha angkutan orang dan/atau angkutan barang dengan kendaraan umum
dilakukan oleh :
a. Badan
usaha milik Negara atau badan usaha milik Daerah;
b. Badan usaha milik swasta nasional;
c. Koperasi;
d. Perorangan warga negara Indonesia.
(2) Untuk
dapat melakukan kegiatan usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib memiliki izin usaha angkutan.
(3) Izin
usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan untuk jangka waktu
selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya.
(4)
Ketentuan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak
berlaku untuk :
a.
perusahaan biro perjalanan umum untuk menunjang kegiatan usahanya;
b. perusahaan yang melaksanakan kegiatan pengangkutan orang sakit dengan mobil
ambulans;
c. kegiatan pengangkutan jenazah dengan mobil jenazah;
d. kegiatan angkutan yang bersifat untuk pelayanan kemasyarakatan.
Pasal 19
Usaha
angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terdiri dari :
a. usaha
angkutan orang dalam trayek tetap dan teratur;
b. usaha angkutan orang tidak dalam trayek;
c. usaha angkutan barang.
Pasal 20
Untuk
memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib
dipenuhi persyaratan :
a.
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b.
memiliki Akte Pendirian Perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b, akte
pendirian koperasi bagi pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf c dan tanda jati diri bagi pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) huruf d;
c.
memiliki surat keterangan domisili perusahaan;
d.
memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU);
e.
pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai kendaraan bermotor;
f.
pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan
bermotor.
Pasal 21
(1)
Permohonan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
diajukan kepada Menteri.
(2) Izin
usaha angkutan diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
apabila:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
b. trayek
atau wilayah operasi yang akan dilayani masih terbuka.
(3)
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan
diterima secara lengkap.
(4)
Penolakan permohonan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diberikan secara tertulis disertai alasan penolakan.
Pasal 22
Penguasa
angkutan umum yang telah mendapatkan izin usaha angkutan diwajibkan untuk :
a.
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin usaha angkutan;
b. melakukan kegiatan usahanya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah izin
usaha angkutan diterbitkan;
c. melaporkan apabila terjadi perubahan pemilikan perusahaan atau domisili perusahaan;
d. melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun kepada pemberi izin.
Pasal 23
(1) Izin
usaha angkutan dicabut apabila :
a. perusahaan angkutan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
b.
perusahaan angkutan tidak melakukan kegiatan usaha angkutan.
(2)
Pencabutan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui proses peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing satu bulan.
(3)
Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diindahkan,
dilanjutkan dengan pembekuan izin usaha angkutan untuk jangka waktu satu bulan.
(4) Jika
pembekuan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) habis jangka
waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, izin usaha angkutan dicabut.
Pasal 24
Izin
usaha angkutan dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dan pembekuan
izin, dalam hal perusahaan yang bersangkutan :
a.
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara;
b. memperoleh izin usaha angkutan dengan cara tidak sah.
Pasal 25
Ketentuan
lebih lanjut mengenai bentuk izin usaha angkutan, peringatan tertulis,
pembekuan dan pencabutan izin usaha angkutan, tata cara laporan usaha angkutan
serta penatausahaan informasi perizinan diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian
Kedua
Izin Trayek
Pasal 26
(1) Untuk
melakukan kegiatan angkutan dalam trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a wajib memiliki izin trayek.
(2) Izin
trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri.
Pasal 27
(1) Untuk
memperoleh izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) wajib
memenuhi persyaratan :
a.
memiliki izin usaha angkutan;
b. memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan;
c. memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan kendaraan bermotor;
d. memiliki atau menguasai fasilitas perawatan kendaraan bermotor.
(2) Untuk
kepentingan tertentu kepada perusahaan angkutan dapat diberikan izin untuk
menggunakan kendaraan bermotor cadangannya menyimpang dari izin trayek yang
dimiliki.
Pasal 28
(1)
Pembukaan trayek baru dilakukan dengan ketentuan:
a. adanya
permintaan angkutan yang potensial dengan perkiraan faktor muatan di atas 70 %
(tujuh puluh persen), kecuali angkutan perintis;
b. tersedianya fasilitas terminal yang sesuai.
(2)
Penetapan trayek yang terbuka untuk penambahan jumlah kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan :
a. faktor
muatan rata-rata di atas 70 % (tujuh puluh persen);
b. tersedianya fasilitas terminal yang sesuai.
(3)
Menteri melakukan evaluasi kebutuhan penambahan jumlah kendaraan bermotor pada
tiap-tiap trayek dan wajib mengumumkannya sekurang-kurangnya sekali dalam 6
(enam) bulan.
Pasal 29
(1)
Perusahaan angkutan yang telah memiliki izin trayek dapat diizinkan untuk
menambah jumlah kendaraan bermotor dengan ketentuan :
a. trayek
yang dilayani masih terbuka untuk penambahan kenddaraan bermotor;
b. fasilitas penyimpanan serta perawatan kendaraan sesuai dengan jumlah
kendaraan bermotor yang dimiliki atau dikuasai.
(2) Izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 28 ayat (1).
Pasal 30
(1)
Permohonan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diajukan
kepada Menteri.
(2)
Persetujuan atau penolakan permohonan izin trayek diberikan dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(3)
Penolakan permohonan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan
secara tertulis disertai alasan penolakan.
Pasal 31
Pengusaha
angkutan umum yang telah mendapatkan izin trayek diwajibkan untuk :
a.
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin trayek;
b. mengoperasikan kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan;
c. melaporkan apabila terjadi perubahan domisili perusahaan;
d. meminta pengesahan dari pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan
penanggung jawab perusahaan;
e. melaporkan setiap bulan kegiatan operasional angkutan.
Pasal 32
(1) Izin
trayek dicabut apabila :
a.
perusahaan angkutan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31;
b. tidak mampu merawat kendaraan bermotor sehingga kendaraan tidak memenuhi
persyaratan teknis dan laik jalan;
c. pihak-pihak atau yang namanya ditetapkan untuk bertindak atas nama
perusahaan melakukan pelanggaran operasional yang berkaitan dengan pengusahaan
angkutan;
d. melakukan pengangkutan melebihi daya angkut;
e. tidak mematuhi ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi;
f. mempekerjakan pengemudi yang tidak memenuhi syarat.
(2)
Pencabutan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
proses peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing-masing satu bulan.
(3)
Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diindahkan,
dilanjutkan dengan pembekuan izin trayek untuk jangka waktu satu bulan.
(4) Jika
pembekuan izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) habis jangka waktunya
dan tidak ada usaha perbaikan, izin trayek dicabut.
Pasal 33
Izin
trayek dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dan pembekuan izin, dalam
hal perusahaan yang bersangkutan :
a.
melakukan kegiatan yang membayahakan keamanan negara;
b. memperoleh izin trayek dengan cara tidak sah.
Pasal 34
Ketentuan
lebih lanjut mengenai bentuk izin trayek, peringatan tertulis, pembekuan dan
pencabutan izin trayek, tata cara laporan kegiatan angkutan serta penatausahaan
informasi perizinan trayek, diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian
Ketiga
Izin Operasi Angkutan
Pasal 35
(1) Untuk
melakukan kegiatan pengangkutan dengan kendaraan umum tidak dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib memiliki izin operasi angkutan.
(2) Izin
operasi angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri.
Pasal 36
Untuk
memperoleh izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan :
a.
memiliki izin usaha usaha angkutan;
b. memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan;
c. memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan kendaraan bermotor;
d. memiliki atau menguasai fasilitas perawatan kendaraan bermotor.
Pasal 37
(1)
Penetapan wilayah operasi yang terbuka untuk penambahan jumlah kendaraan
bermotor, dilakukan apabila tingkat penggunaan kendaraan bermotor di atas 60 %
(enam puluh persen).
(2)
Menteri melakukan evaluasi kebutuhan penambahan jumlah kendaraan bermotor pada
tiap-tiap wilayah operasi dan wajib mengumumkannya sekurang-kurangnya sekali
dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 38
(1)
Permohonan izin operasi angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
diajukan kepada Menteri.
(2)
Persetujuan atau penolakan permohonan izin operasi diberikan dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(3)
Penolakan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan secara
tertulis disertai alasan penolakan.
Pasal 39
Penguasaha
angkutan umum yang telah mendapatkan izin operasi wajib :
a.
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin operasi;
b. mengoperasikan kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan;
c. melaporkan apabila terjadi perubahan domisili perusahaan;
d. meminta pengesahan dari pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan
penanggung jawab perusahaan;
e. melaporkan setiap bulan kegiatan operasional angkutan.
Pasal 40
(1) Izin
operasi dicabut apabila :
a. perusahaan
angkutan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39;
b. tidak mampu merawat kendaraan bermotor sehingga kendaraan bermotor tidak
memenuhi persyaratan teknis dana laik jalan;
c. pihak-pihak atau yang namanya ditetapkan untuk bertindak atas nama
perusahaan melakukan pelanggaran operasional yang berkaitan dengan pengusahaan
angkutan;
d. melakukan pengangkutan melebihi daya angkut;
e. tidak mematuhi ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi;
f. mempekerjakan pengemudi yang tidak memenuhi syarat.
(2)
Pencabutan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
proses peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing-masing satu bulan.
(3)
Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diindahkan,
dilanjutkan dengan pembekuan izin operasi untuk jangka waktu satu bulan.
(4) Jika
pembekuan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) habis jangka
waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, izin operasi dicabut.
Pasal 41
Izin
operasi dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dan pembekuan izin, dalam
hal perusahaan yang bersangkutan :
a.
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara;
b. memperoleh izin operasi angkutan dengan cara tidak sah.
Pasal 42
Ketentuan
lebih lanjut mengenai bentuk izin operasi angkutan, peringatan tertulis,
pembekuan dan pencabutan izin operasi angkutan, tata cara laporan kegiatan
angkutan serta penatausahaan informasi perizinan operasi angkutan, diatur
dengan Keputusan Menteri.
BAB V
STRUKTUR DAN GOLONGAN TARIF ANGKUTAN
Pasal 43
Tarif
angkutan terdiri dari tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang.
Pasal 44
Tarif
angkutan penumpang terdiri dari tarif dalam trayek tetap dan teratur dan tarif
tidak dalam trayek.
Pasal 45
(1) Golongan
tarif angkutan penumpang dalam trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44, terdiri dari tarif pelayanan ekonomi dan tarif pelayanan
non-ekonomi.
(2)
Kriteria pelayanan dan besarnya perimbangan jumlah armada yang dimiliki oleh
perusahaan angkutan untuk melakukan pelayanan ekonomi dan pelayanan non-ekonomi
ditetaapkan oleh Menteri.
Pasal 46
(1)
Struktur tarif pelayanan ekonomi dalam trayek tetap dan teratur terdiri dari
tarif dasar dan tarif jarak.
(2)
Struktur tarif pelayanan non-ekonomi dalam trayek tetap dan teratur terdiri
dari tarif dasar, tarif pelayanan tambahan dan tarif jarak.
Pasal 47
(1) Tarif
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(2) Tarif
pelayanan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), ditetapkan
oleh penyedia jasa angkutan.
(3) Tarif
jarak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
(4) Tarif
jarak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) ditetapkan oleh penyedia
jasa angkutan.
Pasal 48
Tarif angkutan
penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa
angkutan.
Pasal 49
(1)
Trayek taksi terdiri dari tarif awal, tarif dasarm tarif jarak dan tarif waktu
yang ditunjukkan dalam argometer.
(2) Tarif
taksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Tarif
angkutan barang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan
penyedia jasa angkutan.
BAB VI
TATA CARA PENGANGKUTAN PENUMPANG DAN BARANG
Pasal 51
(1) Awak
kendaraan umum angkutan penumpang harus mematuhi ketentuan mengenai :
a. tata
cara menaikkan dan menurunkan penumpang;
b. tata cara berhenti;
c. penggunaan karcis atau pembayaran biaya angkutan;
d. kelengkapan teknis kendaraan bermotor umum angkutan penumpang.
(2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 52
(1)
Pengangkutan barang dengan mobil barang harus memenuhi ketentuan mengenai :
a. tata cara menaikkan dan menurunkan barang;
b. tata
cara mengepak atau mengikat barang yang dimuat dalam mobil barang;
c. pemberian tanda-tanda pada muatan yang menonjol pada mobil barang;
d. tata cara penyusunan mutan pada mobil barang.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 53
(1)
Setiap penguasa angkutan umum wajib memberikan perlakuan khusus bagi penderita
cacat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Pada
tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah yang mengatur
ketentuan mengenai angkutan jalan dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
(1)
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan yang mengatur penyerahan
sebagian urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada
Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II dinyatakan tetap berlaku.
(2)
Urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang telah ditindaklanjuti dengan penyerahan secara
nyata, tetap dilaksanakan oleh Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
Pasal 56
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1993.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 5 Juli 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 5 Juli 1993
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1993 NOMOR 59
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
Bambang
Kesowo, S.H., LL.M.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1993
TENTANG
ANGKUTAN JALAN
UMUM
Peraturan
Pemerintah tentang Angkutan Jalan ini adalah pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimaksudkan untuk
meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan angkutan jalan sesuai dengan
perkembangan kehidupan rakyat dan Bangsa Indonesia.
Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan modal angkutan lainnya sangat penting
bagi perkembangan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
Indonesia.
Dengan
demikian maka negara menguasai angkutan jalan untuk diarahkan sebesar-besarnya
kepada tujuan pembangunan nasional.
Sebagai salah satu komponen Sistem Perhubungan Nasional, pada hakekatnya
angkutan jalan menyangkut hajat hidup orang banyak karena digunakan oleh
seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam kedudukan dan peranan yang demikian sudah selayaknya apabila Pemerintah
memberikan bimbingan dan pembinaan sehingga angkutan jalan dapat
diselenggarakan secara tertib dan teratur, berhasil guna dan berdaya guna.
Sistem
perizinan lebih menitikberatkan kepada jaminan kualitas pelayanan angkutan
penumpang umum maupun barang dengan kendaraan bermotor.
Izin
usaha angkutan diberlakukan untuk seluruh usaha angkutan dengan kendaraan umum
dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan angkutan.
Izin
trayek dan operasi diberlakukan untuk pelayanan angkutan penumpang dengan
trayek tetap dan teratur serta tidak dalam trayek dengan tujuan agar usaha
angkutan dapat diselenggarakan secara tertib dan teratur, berhasil guna dan
berdaya guna dengan tetap menjaga kesempatan berusaha bagi golongan ekonomi
kecil, menengah dan besar.
Izin
usaha angkutan barang ditetapkan agar usaha angkutan ini dapat diselenggarakan
secara tertib dan teratur serta mendorong secepatnya untuk dapat berhasil guna
dan berdaya guna.
Untuk menjamin kualitas pelayanan yang tertib dan teratur, maka pengawasan
faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keselamatan seperti perawatan
kendaraan dan mutu pengemudi akan ditingkatkan. Demikian pula pengawasan
terhadap lebih muatan akan pula ditingkatkan sehingga kerusakan-kerusakan jalan
akibat lebih muatan dapat dikurangi atau dihapuskan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula tarif angkutan penumpang dalam
trayek tetap dan teratur, tidak dalam trayek dan angkutan barang.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Yang dimaksud dengan rumah-rumah adalah bagian dari kendaraan bermotor jenis
mobil penumpang atau mobil bus atau mobil barang, yang berada pada landasan
berbentuk ruang muatan, baik untuk orang maupun barang.
Angka 6
Termasuk pengertian mobil penumpang antara lain bemo dan helicak.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Pasal 2
Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah kendaraan
bermotor untuk angkutan orang yang dirancang dan digunakan secara khusus,
seperti kendaraan khusus jenis caravan, kendaraan khusus untuk mengangkut
narapidana, ambulans dan sebagainya.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan daerah yang sarana transportasinya belum memadai adalah
daerah yang belum dilayani oleh kendaraaan umum berupa bus umum dan mobil
penumpang umum dengan trayek tetap dan teratur.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar mobil barang yang digunakan untuk mengangkut
penumpang, tetap terjamin keselamatannya.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud mempunyai jadwal tetap dalam ketentuan ini adalah pengaturan jam
perjalann setiap mobil bus umum, meliputi jam keberangkatan, persinggahan dan
kedatangan pada terminal-terminal yang wajib disinggahi.
Dengan demikian adalah merupakan kewajiban bagi pengusaha angkutan untuk
melayani angkutan sesuai dengan jadwal perjalanan yang ditetapkan.
Huruf b
Pelayanan cepat dalam ketentuanini yaitu pelayanan angkutan dengan pembatasan
jumlah terminal yang wajib disinggahi selama perjalanannya.
Huruf c
Pelayanan oleh mobil bus umum dimaksudkan agar tercapai efisiensi penggunaan
sarana angkutan dan ruang jalan.
Huruf d
Terminal tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota
antar propinsi, dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota
dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pelayanan lambat dalam ketentuan ini yaitu pelayanan angkutan dengan kewajiban
memasuki terminal sesuai dengan izin trayek.
Terminal-terminal yang wajib disinggahi pada pelayanan lambat jumlahnya lebih
banyak daripada terminal yang wajib disinggahi oleh angkutan dengan pelayanan
cepat.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Terminal tipe B berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota
dalam propinsi, angkutan kota, dan angkutan pedesaan.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelayanan angkutan dalam trayek kota merupakan pelayanan angkutan ulang-alik
(commuter) dengan jarak relatif pendek dan terus menerus.
Dengan ciri pelayanan yang demikian, maka menaikkan danmenurunkan penumpang
dilakukan pada halte/tempat pemberhentian atau terminal dalam waktu singkat
serta tidak diperlukan persiapan-persiapan bagi awak maupun kendaraan untuk
pemberangkatan berikutnya.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengendalikan jumlah kendaraan umum yang
beroperasi pada waktu tertentu.
Huruf a
Butir 1
Cukup jelas
Butir 2
Kawasan utama yaitu suatu kawasan yang merupakan pembangkit perjalanan yang
tinggi, seperti kawasan perdagangan utama, perkantoran di dalam kota yang
membutuhkan pelayanan yang cukup tinggi.
Kawasan pendukung yaitu suatu kawasan pembangkit perjalanan untuk bagian
wilayah kota yang berupa kawasan perdagangan lokal, dan perkantoran lokal.
Butir 3
Cukup jelas
Butir 4
Cukup jelas
Butir 5
Cukup jelas
Butir 6
Tempat-tempat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat berupa halte, stop
bus atau terminal.
Terminal tersebut merupakan terminal untuk perpindahan penumpang angkutan antar
kota ke angkutan kota atau sebaliknya.
Huruf b
Butir 1
Cukup jelas
Butir 2
Kawasan pemukiman ialah suatu kawasan perumahan tempat penduduk bermukim yang
memerlukan jasa angkutan.
Butir 3
Cukup jelas
Butir 4
Cukup jelas
Butir 5
Cukup jelas
Butir 6
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Trayek langsung yaitu trayek yang menghubungkan langsung antar dua kawasan yang
permintaan angkutan antara kedua kawasan tersebut tinggi, dengan syarat bahwa
kondisi prasarana jalan yang memungkinkan untuk dilaksanakan trayek tersebut.
Dengan demikian akan terjadi pengurangan perpindahan angkutan.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tidak berjadwal yaitu pelayanan angkutan dengan jam
keberangkatan dan kedatangan tidak tetap, pada terminal-terminal yang wajib
disinggahi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Terminal penumpang tipe C merupakan terminal angkutan pedesaan yang
dipergunakan dengan tujuan untuk pemberangkatan dan kedatangan mobil bus
dan/atau mobil penumpang umum untuk tujuan angkutan dalam Wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 9
Pengertian tidal dalam trayek adalah pelayanan angkutan umum yang tidak terikat
dalam trayek tertentu dan tidak berjadwal serta merupakan pelayanan angkutan
dari pintu ke pintu.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dalam keadaan tertentu adalah suatu keadaan di mana jumlah
penduduk yang bermukim di luar batas wilayah administratif Kotamadya Tingkat II
tersebut cukup banyak yang memerlukan jasa angkutan untuk menghubungkan wilayah
pemukiman tersebut dengan wilayah kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
tanda khusus adalah tanda yang harus melekat secara permanen pada bus umum
sebagai tanda angkutan pariwisata dan tanda tersebut akan memberkan kemudahan
bagi kendaraan yang bersangkutan untuk tidak wajib memasuki terminal serta
keleluasaan beroperasi menuju obyek wisata yang terletak baik di dalam maupun
di luar kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penggunaan mobil penumpang dan mobil bus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini tidak semata-mata digunakan untuk angkutan barang. Oleh karena itu jumlah
muatan barang yang boleh diangkut oleh mobil penumpang dan mobil bus tersebut
tidak melebihi daya angkut bagasinya.
Untuk dapat menampung kebutuhan angkutan di daerah-daerah yang sarana
transportasinya belum memadai, misalnya di daerah-daerah pedesaan atau daerah
terpencil lainnya, jumlah barang yang boleh diangkut tidak boleh melebihi daya
angkut yang ditetapkan dalam buku uji kendaraan bermotor yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bahan berbahaya dalam ketentuan ini, adalah bahan atau
benda yang oleh karena sifat dan ciri khas serta keadaannya, merupakan bahaya
terhadap keselamatan dan ketertiban umum serta terhadap jiwa atau kesehatan
manusia dan mahluk hidup lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lintasan angkutan peti kemas yaitu bagian dari jaringan lintas yang dapat
dilalui oleh kendaraan bermotor angkutan peti kemas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas
dan menjamin keselamatan pemakai jalan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Biro perjalanan umum dimaksud adalah usaha biro perjalanan sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan di bidang kepariwisataan yang tidak semata-mata
melakukan kegiatan usaha angkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini antara lain angkutan
antar jemput anak sekolah, angkutan sampah dan sebagainya.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian terbuka dalam ketentuan ini adalah masih dimungkinkannya penambahan
jumlah kendaraan pada trayek atau wilayah operasi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Huruf a
Kewajiban dalam ketentuan ini, termasuk kewajiban untuk mentaati seluruh
peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain wajib angkut kiriman pos
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yangdimaksud denghan cara tidak sah adalah memberikan keterangan yang tidak
benar pada waktu mengajukan permohonan izin atau memperoleh izin tanpa melalui
prosedur yang ditetapkan.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan penatausahaan informasi perizinan adalah sistem informasi
manajemen izin usaha angkutan dengan kendaraan umum, untuk perencanaan
angkutan, pengawasan dan pengendalian perusahaan angkutan.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini ialah suatu
keadaan di mana dibutuhkan kendaraan untuk melayani kebutuhan angkutan atau
dalam waktu-waktu tertentu, seperti berdarmawisata dan lebaran serta kegiatan
lainnya.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Angkutan perintis dimaksudkan untuk membuka daerah yang terisolir ataupun yang
belum berkembang, sehingga tidak terikat pada faktor muatan 70 % (tujuh puluh
persen) untuk membuka trayek baru untuk angkutan perintis.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Dengan faktor muatan rata-rata 70 % (tujuh puluh persen) tetap dapat diwujudkan
iklim usaha yang sehat.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
trayek-trayek yang dapat diizinkan untuk adanya penambahan jumlah kendaraan
yang dapat dioperasikan pada trayek dimaksud.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukupjelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Yang dimaksud dengan penatausahaan informasi perizinan adalah sistem informasi
manajemen izin trayek angkutan dengan kendaraan umum, untuk perencanaan
angkutan, pengawasan dan pengendalian perusahaan angkutan.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Dengan tingkat penggunaan di atas 60 % (enam puluh persen) tetap dapat
diwujudkan iklim usaha angkutan yang sehat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 41
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan cara tidak sah adalah memberikan keterangan yang tidak
benar pada waktu mengajukan permohonan izin operasi atau memperoleh izin
operasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan penatausahaan informasi perizinan operasi adalah sistem
informasi manajemen izin operasi angkutan dengan kendaraan umum, untuk
perencanaan angkutan, pengawasan dan pengendalian perusahaan angkutan.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Tarif pelayanan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah tarif
pelayanan angkutan yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan
masyarakat luas.
Tarif pelayanan non ekonomi adalah tarif pelayanan angkutan yang berorientasi
kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan di jalan.
Ayat (2)
Perimbangan jumlah armada yang dimiliki oleh perusahaan angkutan dihitung
berdasarkan jumlah armada yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan. Hal
ini dimaksudkan agar dapat dicapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat
dan kepentingan penyedia jasa angkutan dengan tetap memperhatikan kebutuhan
jasa angkutan.
Pasal 46
Ayat (1)
Tarif dasar adalah besaran tarif yang dinyatakan dengan biaya perpenumpang
perkilometer.
Penetapan tarif dasar untuk pelayanan ekonomi dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan daya beli masyarakat.
Tarif jarak adalah besaran tarif yang didasarkan atas perkalian tarif dasar
dengan jarak tempuh.
Ayat (2)
Penetapan tarif dasar untuk pelayanan non ekonomi dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan.
Tarif pelayanan tambahan adalah besaran tarif yang dinyatakan dengan biaya
perpenumpang perkilometer sesuai dengan fasilitas dan tingkat pelayanan yang
diberikan.
Tarif jarak adalah besaran tarif yang didasarkan atas penjumlahan tarif dasar
ditambah tarif pelayanan tambahan dikalikan jarak tempuh.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Tarif awal adalah angka awal yang tertera pada argometer taksi setelah
argometer taksi dihidupkaan pada permulaan penyewaan, yang menunjukkan biaya
permulaan/dasar sebagai biaya minimum yang tidak berubah untuk jangka waktu
atau jarak tempuh tertentu.
Tarif
dasar adalah besarnya tambahan tarif yang dikenakan atas dasar jarak
selanjutnya yang ditempuh.
Tarif waktu adalah besarnya tambahan tarif yang dikenakan atas dasar penggunaan
waktu, misalnya dalam hal taksi menunggu atau dalam kondisi lalu lintas macet.
Tarif jarak adalah besarnya tarif yang tertera dalam argometer yang harus
dibayar oleh penumpang, yang didasarkan atas tarif awal ditambah tarif jarak
dan/atau tarif waktu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penderita cacat mendapatkan pelayanan secara
layak dalam hal yang bersangkutan menggunakan kendaraan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah yang
mengatur penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan
di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah
Tingkat II.
Urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang telah
diserahkan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 adalah urusan pemerintahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 26 ayat 92), Pasal 30 ayat (1), Pasal 35 ayat
(2), dan Pasal 38 ayat (1), Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan karena sifatnya
masih merupakan suatu aturan umum langsung dari suatu undang-undang, maka
sesuai dengan tatanan peraturan perundang-undangan Indonesia pendelegasian
pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan
Menteri. Demikian pula pendelegasian wewenang untuk pelaksanaan urusan
pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan diberikan kepada Menteri,
karena wewenang pelaksanaan masih berada pada Pemerintah Pusat.
Dalam hal sebagian urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan
akan diserahkan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, maka berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, penyerahan
urusan tersebut diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah yang secara khusus
mengatur penyerahan urusan dimaksud.
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah yang secara khusus mengatur penyerahan sebagian urusan pemerintahan
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan berdasarkan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 sebagaimana dalam penjelasan ayat (1).
Dengan demikian ketentuan ini memberikan suatu penegasan bahwa meskipun dalam
pasal-pasal sebagaimana disebutkan dalam penjelasan ayat (1) ditetapkan/diatur
bahwa urusan tersebut dilaksanakan oleh Menteri, namun oleh karena telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 yang khusus mengatur
penyerahan sebagian urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, maka
urusan-urusan dimaksud tetap dilaksanakan oleh Daerah Tingkat I dan Daerah
Tingkat II yang telah menerima penyerahan secara nyata.
Pasal 56
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3527
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN LEPAS SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1993