Jumat, 14 September 2012

kehakiman


UNDANG-UNDANG (UU)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 19 TAHUN 1964 (19/1964)

TENTANG

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN

POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN. KETENTUAN-KETENTUAN.


Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
 
bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 Undang-undang Dasar, perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan Pancasila sebagai dasar Negara, alat Revolusi dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Haluan Negara, serta pedoman-pedoman pelaksanaannya.

Mengingat:

1.         Pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan Pasal 24 Undang-undang Dasar;
2.         Ketetapan M.P.R.S. No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/ 1960;
3.         Undang-undang REFR DOCNM="60ppu010">No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. REFR DOCNM="64kp239">239 tahun 1964.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.

BAB I.

KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.

1.         Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara, yang ditetapkan dengan Undang-undang.
2.         Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan Hukum yang mempunyai fungsi Pengayoman.

Pasal 2.

1.         Peradilan dilakukan "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
2.         Peradilan dilakukan dengan sederhana, murah dan cepat.

Pasal 3.

Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia.

Pasal 4.
1.         Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang- undang.
2.         Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana-kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
3.         Dalam perkara perdata Pengadilan membantu dengan sekuat tenaga para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya supaya segala hambatan dan rintangan untuk peradilan yang cepat, sederhana dan murah, disingkirkan.
4.         Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara- cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 5.

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum dijatuhi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 6.

1.         Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum, berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.
2.         Pejabat yang sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana dan/atau dibebani ganti kerugian.
3.         Cara-cara untuk mendapatkan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dengan Undang-undang.

BAB II.

KEKUASAAN KEHAKIMAN.

Pasal 7.

1.         Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

a.         Peradilan Umum;
b.         Peradilan Agama;
c.         Peradilan Militer;
d.         Peradilan Tata Usaha Negara.

2.         Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.
3.         Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat (1) di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata.
4.         Ketentuan dalam ayat (1) tetap membuka kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian di luar pengadilan.

Pasal 8.

1.         Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga orang hakim.
2.         Untuk memperlancar jalannya peradilan, dan untuk daerah-daerah tertentu juga untuk jangka waktu tertentu, dapat diadakan ketentuan lain yang diatur dengan Undang-undang.
3.         Susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan pengadilan diatur dengan Undang-undang.
4.         Pengadilan dapat memeriksa dan memutus perkara di luar hadirnya tertuduh menurut ketentuan yang diatur dengan Undang- undang.

Pasal 9.

1.         Di antara para hakim tersebut dalam pasal 8 ayat (1), seorang bertindak sebagai Ketua Sidang; Sidang dibantu pula oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
2.         Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.

Pasal 10.

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus sesuatu perkara yang diajukan, dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib dengan bertanggung jawab kepada Negara dan Revolusi memberikan putusan.

Pasal 11.

Untuk kepentingan peradilan, semua pengadilan wajib saling memberi keterangan yang diminta.

Pasal 12.

1.         Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila dalami Undang-undang ditetapkan lain atau apabila menurut pendapat pengadilan yang disetujui oleh Pengadilan setingkat lebih tinggi, terdapat alasan yang penting.
2.         Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya ptusan menurut hukum.

Pasal 13.

Semua putusan pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 14.

1.         Atas semua putusan Pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding, kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.
2.         Untuk menegakkan hukum sebagai alat revolusi dan/atau untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Penuntut Umum berhak meminta banding, terhadap setiap putusan mengenai perkara-perkara kejahatan tertentu yang ditetapkan di dalam Undang-undang.
3.         Atas putusan pengadilan yang memutus dalam tingkat banding, baik oleh terpidana maupun penuntut umum atau fihak ketiga yang dirugikan dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Pasal 15.

Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.

Pasal 16.

Apabila dalam suatu perkara terlibat orang-orang yang termasuk wewenang berbagai lingkungan peradilan, mereka diadili oleh pengadilannya masing-masing kecuali apabila Undang-undang menetapkan lain.

Pasal 17.

1.         Segala,putusan Pengadilan memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu.
2.         Putusan itu harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau apabila hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, alasan-alasan dan dasar-dasar pengadilannya.
3.         Putusan-putusan pengadilan ditanda-tangani oleh Ketua serta hakim-hakim yangmemutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
4.         Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera.

BAB III.

HUBUNGAN PENGADILAN DAN PEMERINTAH.

Pasal 18.

Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal hukum kepada Pemerintah, apabila diminta.

Pasal 19.

Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan.

BAB IV.

HAKIM DAN KEWAJIBANNYA.

Pasal 20.

1.         Hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.
2.         Dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.

Pasal 21.

1.         Tertuduh mempunyai hak ingkar terhadap hakim.
2.         Apabila seorang hakim masih terikat dalam hubungan kekeluargaan tertentu dengan hakim anggota, jaksa, penasehat hukum atau panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib sukarela mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.
3.         Begitu pula apabila hakim anggota, penuntut umum atau panitera masih terikat dalam hubungan kekeluargaan tertentu dengan yang diadili, ia wajib sukarela mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.

Pasal 22.

Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim ditentukan dengan Undang-undang.

Pasal 23.

1.         Sebelum melakukan jabatannya, hakim, panitera, panitera- pengganti dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan, mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya atau janji.
2.         Sumpah/janji berbunyi sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji:

bahwa saja akan setia kepada Negara, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Revolusi Indonesia serta kepada Haluan Negara dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;

bahwa sesungguhnya saya tidak, baik dengan langsung, maupun dengan tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, untuk memperoleh jabatan saya, telah atau akan memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;

bahwa saya tidak akan menerima pemberian atau hadiah dari orang yang saya ketahui atau sangka, sedang atau akan berperkara, yang mungkin akan mengenai pelaksanaan jabatan saya;

bahwa selanjutnya saya akan menjalankan jabatan saya dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya, seperti selayaknya bagi seorang Hakim (pegawai kehakiman) yang berbudi baik dan jujur".

BAB V.

PELAKSANAAN PUTUSAN.

Pasal 24.

Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur dengan Undang-undang.

Pasal 25.

Dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya keadilan dan perikemanusiaan tetap terpelihara.

BAB VI.

BANTUAN HUKUM.

Pasal 26.

Hak setiap orang yang mempunyai perkara untuk memperoleh bantuan hukum diatur dengan Undang-undang.

Pasal 27.

Dengan tidak merugikan kepentingan pemeriksaan dalam perkara pidana penasehat hukum semenjak saat dilakukan penangkapan dan penahanan seseorang dibolehkan menghubungi dan memberi bantuan hukum padanya, dengan tidak menghadiri pemeriksaan permulaan, menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang.

Pasal 28.

Dalam pemberian bantuan itu penasehat hukum wajib senantiasa berusaha dalam rangka tujuan peradilan melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, Manipol serta pedoman-pedoman pelaksanaannya serta rasa keadilan.

Pasal 29.

Semua peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 30.

Undang-undang ini dinamakan Undang-undang pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 31.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkah di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 1964.
PD. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dr. SUBANDRIO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 1964.
SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.
























































PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG No. 19 TAHUN 1964
Tentang

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.

I.          UMUM.

Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan, mengatur hubungan peradilan dengan pencari keadilan. Susunan, acara, pembagian pekerjaan antara para petugas pengadilan tidak diatur disini melainkan dalam peraturan-peraturan tersendiri dengan ketentuan, bahwa Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman ini, merupakan induknya atau pedoman-pedoman bagi ketentuan-ketentuan lain itu, yang hanya merupakan pelaksanaan dari padanya.

Mengingat Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, § 402 No. 34 - 37, maka dalam Undang-undang ini diusahakan, supaya semua ketentuan yang sesuai dan memupuk kepribadian Indonesia, dicantumkan, sehingga merupakan suatu peraturan yang sesuai dengan Pancasila dan Manipol/Usdek. Pribadi manusia Indonesia dengan dan di dalam masyarakat memperoleh sorotan yang tajam dan memperoleh jaminan yang wajar pula. Dijaga pula, supaya keadilan dijalankan dengan seobyektif- obyektifnya dengan diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan oleh 3 orang hakim, kemungkinan diadakannya peninjauan kembali putusan pengadilan, pemberian bantuan hukum semenjak seorang ditahan, dan kemungkinan untuk mengganti kerugian serta rehabilitasi seorang yang tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan telah ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan dibukanya kemungkinan pula untuk dituntutnya pejabat yang dengan sengaja telah mengakibatkan penderitaan yang tak wajar.

Ditegaskan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja atau peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin mereka akan dihapuskan, seperti yang secara berangsur-angsur telah dilakukan. Ketentuan itu tidaklah bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat. melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada Pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar, sehingga turut serta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia.

Walaupun pemeriksaan di sidang akan dilakukan oleh 3 orang hakim, namun harus diusahakan supaya azas, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan murah tetap dipegang teguh. Dalam hukum acara disediakan peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana sebagaimana akan diatur dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Peradilan dilakukan "Demi Keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa" yang bukan berarti keadilan yang subyektif, melainkan keadilan yang seobyektif-obyektifnya dalam rangka Pancasila dan Manipol, yang dalam Undang-undang ini diusahakan dengan beberapa ketentuan tentang syarat sebagai hakim, pemeriksaan yang dilakukan oleh 3 orang hakim, kewajiban untuk mengintegrasikan diri dalam masyarakat bagi hakim, adanya penasehat hukum, sidang yang terbuka untuk umum pada azasnya jaminan-jaminan bagi manusia yang sesuai dengan Pancasila serta pedoman-pedoman pelaksanaannya dan lain sebagainya.

Mengingat luas wilayah Republik Indonesia dan mengingat pula, bahwa berhubung alat-alat pengangkutan masih jauh dari mencukupi, sedang disegala pelosok tanah air kita terdapat pencari keadilan, maka diadakanlah ketentuan, bahwa apabila pada suatu daerah terdapat kekurangan tenaga Hakim, Menteri yang bersangkutan dapat menyimpang dari ketentuan, bahwa pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga orang hakim. Hanya dalam perkara-perkara kejahatan yang berat seperti perkara-perkara subersi, kontra-revolusi, korupsi besar, dan lain-lain kejahatan dari musuh-musuh revolusi atau yang membawa akibat luas dalam masyarakat, yang ditetapkan dengan Undang-undang penuntut umum berhak banding, juga terhadap putusan hakim yang membebaskan tertuduh dari segala tuntutan.

Salah suatu hal yang dalam hukum acara yang lalu tidak diatur, adalah peninjauan kembali putusan. Putusan pengadilan dijatuhkan oleh hakim, yang juga adalah seorang manusia biasa, yang tidak terluput dari kesalahan dan kekhilafan. Karena itulah dibuka kemungkinan untuk memohon peninjauan kembali putusan. Syarat-syaratnya akan diatur tersendiri, yaitu dalam hukum acara. Dengan adanya Lembaga peninjauan kembali putusan, diusahakanlah supaya pengadilan benar-benar menjalankan keadilan sehingga para pencari keadilan akan dipenuhi hasratnya dalam mencari keadilan. Dalam hal ini mungkin terkena gengsi hakim yang telah memutus dalam tingkat pertama, namun demi keadilan dan demi Pengayoman pula para pencari keadilan wajiblah dijunjung tinggi kepentingannya. Adalah sesuai dengan Pancasila dan Manipol/Usdek serta pedoman-pedoman pelaksanaannya, bahwa peradilan Negara Republik Indonesia mempunyai lembaga peninjauan kembali putusan, karena tidak dapat disangkal lagi bahwa Negara kita adalah Negara yang berlandaskan hukum.

Suatu lembaga yang baru adalah turun atau campur tangan Presiden dalam urusan peradilan. Bila kita memegang teguh Trias Politica, maka pastilah lembaga ini tidak akan dapat ditolerir. Namun kita tidak lagi mengakui Trias Politica. Kita berada dalam Revolusi dan demi penyelesaian Revolusi tahap demi tahap sampai tercapai masyarakat yang adil dan makmur, kita persatukan segala tenaga yang progresif termasuk badan-badan dan alat-alat Negara yang kita jadikan alat Revolusi. Berhubung dengan itu Trias Politica tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal yang tertentu. Hal-hal yang tertentu ini yalah:

1.         Kepentingan Revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat.
2.         Kesemuanya yang tersebut di atas itu harus sangat mendesak.

Tentulah jalan biasa dapat ditempuh, yaitu menunggu, hingga telah dijatuhkan putusan dan kemudian Kepala Negara memberi grasi akan tetapi jalan ini memakan waktu, sedang kepentingan Revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak kadang-kadang tidak dapat menunggu demikian lama. Untuk hal yang demikian inilah diperlukan kebebasan dari Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk turun atau campur tangan dalam pengadilan.

II.         PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Peradilan adalah peradilan negara, yang menjalankan dan melaksanakan fungsi Hukum sebagai Pengayoman dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Manipol/ Usdek, yang menuju masyarakat Sosialis Indonesia. Tidak ada tempat bagi peradilan Swapraja yang bersifat faodalistis, atau peradilan Adat yang dilakukan bukan alat perlengkapan Negara. Bahwa di sana sini diadakan perdamaian atau perwasitan, tidaklah dilarang, bahkan dianjurkan, namun perlu diperhatikan, bahwa Negara tidak memberi kekuatan atau akibat hukum terhadap putusan perdamaian atau perwasitan. Keadilan dapat dicari dan diperoleh pada pengadilan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman. Dengan demikian diusahakan supaya perkembangan hukum dapat berjalan secara terpimpin dan wajar.

Pasal 2.
1.         "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah disesuaikan dengan pasal 29 Undang-undang Dasar yang berbunyi:

a.        Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa;
b.        Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Rumusan ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.

2.         Peradilan harus sederhana. Tidak perlu satu acara yang berbelit-belit, yang tidak memuaskan pencari keadilan. Hukum adalah diperuntukkan bagi mereka, karena itulah mereka wajib mengerti hukumnya. Peradilan harus cepat, hanya dengan kecepatan, perasaan keadilan dapat dipenuhi. Proses yang bertahun-tahun, yang kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahliwaris pencari keadilan, harus dihindarkan sejauh-jauhnya. Peradilan harus murah. Pengadilan adalah untuk rakyat karena itu peradilan harus dilakukan dengan biaya yang ringan supaya rakyat pencari keadilan dapat membayarnya.

Pasal 3.

Ini adalah sendi peradilan. Di sini terlihat dengan jelas hasrat Pemerintah untuk memupuk dan membina kepribadian pengadilan.

Pengadilan mengadili menurut hukum yang dijalankannya dengan kesadaran, bahwa hukum adalah landasan dan alat Negara dan dimana Negara ada di dalam Revolusi menjadi alat Revolusi, yang memberi Pengayoman agar cita-cita luhur Bangsa tercapai dan terpelihara dan bahwa sifat-sifat hukum adalah berakar pada kepribadian Bangsa, serta dengan kesadaran bahwa tugas Hakim ialah dengan bertanggung-jawab sepenuhnya kepada negara dan Revolusi turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian Pancasila, menurut garis-garis besar haluan Negara.

Pasal 4 sampai dengan 6.

Di sini nampak penjunjungan tinggi kepribadian manusia dengan dan di dalam masyarakat, sesuai dengan Pancasila.

Pasal 7

1.         Undang-undang ini membedakan antar Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara.

Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata-Usaha Negara adalah yang disebut "peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut "peradilan kepegawaian" dalam pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).

2.     Cukup jelas.
3.         Tata-Usaha Negara tentang soal-soal Organisatoris administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman.
4.         Cukup jelas.

Pasal 8.

1.         Dengan peradilan yang dijalankan oleh 3 orang hakim secara kolegial ini, maka dijaminlah pemberian keadilan yang seobyektif-obyektifnya.
2.         Untuk memperlancar jalannya peradilan, maka mengenai perkara-perkara kecil seperti pelanggaran dan kejahatan yang bersifat sederhana baik mengenai pembuktiannya maupun penjatuhan pidananya diadakan peradilan kilat yang dilakukan oleh seorang Hakim. Di daerah-daerah dimana masih sangat terasa akan kekurangan tenaga hakim dan dimana jarak antara satu tempat dan lainnya sangatlah jauh, sedang alat pengangkutan juga masih sangat tidak memuaskan, amat sukar untuk dengan sekaligus berpijak pada azas peradilan dengan 3 orang hakim. Namun keadilan ini tidak dapat berlangsung selamanya, karena itu batas waktu diberikan kepada penyimpangan tersebut, sehingga benar-benar akan merupakan pendorong bagi Menteri yang bersangkutan untuk dalam waktu yang singkat memenuhi azas peradilan dengan 3 orang hakim.
3.         Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur badan-badan Peradilan Agama dan tentang Mahkamah Agung mengenai lingkungan Peradilan Agama wewenang atau kekuasaannya, susunan dan hukum acara direncanakan oleh Departemen Agama dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum dari agama yang bersangkutan.
4.         Cukup jelas.

Pasal 9.

Cukup jelas.

Pasal 10.

Dengan positif ditentukan bahwa hakim wajib mencari dan menemukan hukum. Hakim dianggap mengenal hukum. Karena itu ia tidak boleh menolak memberi keadilan. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat. Andai kata ia tidak dapat menemukan hukum tertulisnya. Ia wajib mencari hukum tak tertulisnya atau memutus sebagai seorang yang bijaksana dengan bertanggung-jawab kepada Negara dan Revolusi. Ia wajib berani memutus, demi keadilan dan Pengayoman, untuk ikut serta membangun masyarakat yang adil dan makmur. Penolakannya akan sungguh menurunkan derajat dan martabatnya.

Pasal 11.

Untuk kepentingan peradilan dirasakan perlu untuk mengadakan kerjasama yang baik antara semua pengadilan dari berbagai lingkungan peradilan. Maka sudah sewajarnyalah apabila semua pengadilan itu wajib saling memberi keterangan yang diminta.

Pasal 12.

Alasan-alasan yang penting diantaranya yalah bila terdapat perkara kesusilaan, perkara rahasia negara dan sebagainya.

Pasal 13.

Cukup jelas.

Pasal 14.

1.         Cukup jelas.
2.         Oleh karena hakim dan penuntut umum masing-masing merupakan Alat Revolusi maka sudah sewajarnyalah bahwa sebelum hakim menjatuhkan putusan terakhir dalam perkara pidana diadakanlah musyawarah dengan penuntut umum. Hak penuntut umum untuk minta banding terutama ditujukan terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepentingan Revolusi seperti perkara subversi. korupsi dan lain sebagainya serta juga terhadap perkara-perkara yang menyangkut rasa keadilan masyarakat yang ditetapkan di dalam Undang-undang.

Mengingat kepentingan-kepentingan tersebut adalah kepentingan-kepentingan yang perlu sekali mendapat perlindungan maka hak minta banding bagi Penuntut Umum juga berlaku terhadap putusan Pengadilan yang menyatakan pembebasan terdakwa dari segala tuduhan.

3.         Cukup jelas.

Pasal 15.

Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.

Pasal 16.

Pasal ini mengatur koneksitas antara pengadilan dari beberapa lingkungan. Dalam hal ini ditentukan, bahwa mereka diadili oleh pengadilannya masing-masing. Undang-undang dapat menetapkan bahwa terhadap ketentuan ini dapat diadakan penyimpangan. Di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1950 ditentukan bahwa penyimpangan dapat dilakukan atas persetujuan Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan.

Pasal 17.

Cukup jelas.

Pasal 18.

Dengan Pemerintah dimaksudkan bukan Pemerintah Pusat saja, melainkan juga Pemerintah Daerah.

Pasal 19.

Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang. Sandaran yang terutama bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah Pancasila dan Manipol/Usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi Hukum sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan Negara dan Bangsa yang lebih besar.
Tidak diadilinya seseorang, atau cara-cara maupun susunan pengadilannya, mungkin dapat ditentukan oleh Presiden dalam hal itu. Akan tetapi, keadilan ini adalah keadaan perkecualian yang istimewa. Syaratnya yalah apabila kehormatan Negara dan Bangsa yang sangat mendesak, memerlukan turun atau campur tangan Presiden. Memang jalan biasa dapat ditempuh. Presiden dapat menanti hingga perkara selesai diadili dan diputus dan baru kemudian memberi grasi. Akan tetapi mungkin jalan ini terlalu panjang dan lama. Itulah sebabnya bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi diberi wewenang untuk turun atau campur tangan.

Pasal 20

1.         Hakim adalah alat Revolusi. Sebagai alat Revolusi ia wajib mengenal Revolusi. Untuk mengenal Revolusi, ia tidak boleh memisahkan atau mengasingkan diri dari masyarakat. Ia tidak boleh takut, bahwa ia akan dituduh memihak. Ia memang memihak, akan tetapi memihak kepada Revolusi dan kebenaran.
Hanya dengan terjun secara aktif dalam masyarakat, dengan aktif ikut serta dalam pergolakan masyarakat, dengan pula ikut serta membangun masyarakat yang adil dan makmur, ia akan mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan keadilan rakyat.
Dengan demikian ia akan dapat menggali nilai-nilai hukum dan dengan demikian pula ia akan dapat menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman dengan sempurna.
2.         Baik sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari orang yang akan dijatuhi pidana wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi ini sangat penting untuk bahan permusyawaratan tentang seseorang terutama untuk mempertimbangkan alat-alat yang akan diterapkan terhadapnya.
Keadaan-keadaan pribadi ini dapat diperoleh dari keterangan kawan-kawan orang itu yang dekat, kepala Rukun Tetangganya, keterangan seorang dokter akhli jiwa dan sebagainya.

Pasal 21.

1.         Yang dimaksudkan dengan "hak ingkar" adalah hak seorang tertuduh untuk menolak diadili oleh seorang hakim. Apabila hakim mempunyai hubungan kekeluargaan dengan sitertuduh atau mempunyai kepentingan secara langsung atau tidak langsung dalam perkaranya, maka sitertuduh dapat mempergunakan hak ingkarnya terhadap hakim dengan mengemukakan keberatan-keberatan untuk diadili oleh hakim yang bersangkutan.
2.         Cukup jelas.
3.         Cukup jelas.

Pasal 22 sampai dengan 25.

Cukup jelas.

Pasal 26.

Merupakan azas yang sangat penting, bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai wewenang untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini dianggap perlu karena seorang yang terkena perkara, wajib diberi perlindungan sewajarnya, sehingga ia dapat benar-benar merasakan, bahwa dalam keadaan bagaimanapun baginya, hukum tetap berfungsi sebagai pengayoman. Dalam pada itu perlu diingat pula, bahwa walaupun ia telah ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili, ia dianggap tidak bersalah, sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Karena pentingnya kedudukan penasehat hukum, maka diusahakan supaya diadakan Undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum.

Pasal 27.

Sesuai dengan rasa perikemanusiaan maka seorang tertuduh, selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau penasehat hukumnya sejak ia ditahan. Tapi hubungan ini dengan sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai dengan penyidikan. Untuk itu pegawai penyidik dapat melakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk jaksa dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana.

Pasal 28 sampai dengan 31.
Cukup jelas.

Mengetahui :
Sekretaris Negara,

MOHD. ICHSAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar