UNDANG-UNDANG (UU)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 19 TAHUN 1964
(19/1964)
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
POKOK KEKUASAAN
KEHAKIMAN. KETENTUAN-KETENTUAN.
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
dalam pasal 24 Undang-undang Dasar, perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok
mengenai kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan Pancasila sebagai dasar Negara,
alat Revolusi dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Haluan Negara,
serta pedoman-pedoman pelaksanaannya.
Mengingat:
1.
Pasal
5 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan Pasal 24 Undang-undang Dasar;
2.
Ketetapan
M.P.R.S. No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/ 1960;
3.
Undang-undang
REFR DOCNM="60ppu010">No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden
No. REFR DOCNM="64kp239">239 tahun 1964.
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.
BAB I.
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1.
1.
Semua
peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara,
yang ditetapkan dengan Undang-undang.
2.
Peradilan
Negara Republik Indonesia
menjalankan dan melaksanakan Hukum yang mempunyai fungsi Pengayoman.
Pasal 2.
1.
Peradilan
dilakukan "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
2.
Peradilan
dilakukan dengan sederhana, murah dan cepat.
Pasal 3.
Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai
alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia.
Pasal 4.
1.
Tiada
seorang juapun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang
ditentukan baginya oleh Undang- undang.
2.
Tiada
seorang juapun dapat dijatuhi pidana-kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dapat dipertanggung-jawabkan, telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya.
3.
Dalam
perkara perdata Pengadilan membantu dengan sekuat tenaga para pencari keadilan
dan berusaha sekeras-kerasnya supaya segala hambatan dan rintangan untuk
peradilan yang cepat, sederhana dan murah, disingkirkan.
4.
Tiada
seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal
dan menurut cara- cara yang diatur dengan Undang-undang.
Pasal 5.
Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut dan dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sebelum dijatuhi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 6.
1.
Seseorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum, berhak mendapat
ganti kerugian dan rehabilitasi.
2.
Pejabat
yang sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat
dipidana dan/atau dibebani ganti kerugian.
3.
Cara-cara
untuk mendapatkan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian
diatur dengan Undang-undang.
BAB II.
KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Pasal 7.
1.
Kekuasaan
Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum
sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
a.
Peradilan
Umum;
b.
Peradilan
Agama;
c.
Peradilan
Militer;
d.
Peradilan
Tata Usaha Negara.
2.
Semua
pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi
untuk semua lingkungan peradilan.
3.
Peradilan-peradilan
tersebut dalam ayat (1) di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung,
tetapi organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan
Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam
lingkungan Angkatan Bersenjata.
4.
Ketentuan
dalam ayat (1) tetap membuka kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian di luar pengadilan.
Pasal 8.
1.
Semua
pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga orang hakim.
2.
Untuk
memperlancar jalannya peradilan, dan untuk daerah-daerah tertentu juga untuk
jangka waktu tertentu, dapat diadakan ketentuan lain yang diatur dengan
Undang-undang.
3.
Susunan,
kekuasaan serta acara dari badan-badan pengadilan diatur dengan Undang-undang.
4.
Pengadilan
dapat memeriksa dan memutus perkara di luar hadirnya tertuduh menurut ketentuan
yang diatur dengan Undang- undang.
Pasal 9.
1.
Di
antara para hakim tersebut dalam pasal 8 ayat (1), seorang bertindak sebagai Ketua
Sidang; Sidang dibantu pula oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan
melakukan pekerjaan panitera.
2.
Dalam
perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali apabila
ditentukan lain dengan Undang-undang.
Pasal 10.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan memutus sesuatu perkara yang diajukan, dengan dalih, bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib dengan bertanggung jawab kepada Negara
dan Revolusi memberikan putusan.
Pasal 11.
Untuk kepentingan peradilan, semua pengadilan
wajib saling memberi keterangan yang diminta.
Pasal 12.
1.
Sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila dalami
Undang-undang ditetapkan lain atau apabila menurut pendapat pengadilan yang
disetujui oleh Pengadilan setingkat lebih tinggi, terdapat alasan yang penting.
2.
Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya ptusan menurut
hukum.
Pasal 13.
Semua putusan pengadilan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 14.
1.
Atas
semua putusan Pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding, kecuali
apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.
2.
Untuk
menegakkan hukum sebagai alat revolusi dan/atau untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat, Penuntut Umum berhak meminta banding, terhadap setiap putusan
mengenai perkara-perkara kejahatan tertentu yang ditetapkan di dalam
Undang-undang.
3.
Atas
putusan pengadilan yang memutus dalam tingkat banding, baik oleh terpidana
maupun penuntut umum atau fihak ketiga yang dirugikan dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 15.
Terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya
apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan
Undang-undang.
Pasal 16.
Apabila dalam suatu perkara terlibat
orang-orang yang termasuk wewenang berbagai lingkungan peradilan, mereka
diadili oleh pengadilannya masing-masing kecuali apabila Undang-undang
menetapkan lain.
Pasal 17.
1.
Segala,putusan
Pengadilan memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu.
2.
Putusan
itu harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau
apabila hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, alasan-alasan
dan dasar-dasar pengadilannya.
3.
Putusan-putusan
pengadilan ditanda-tangani oleh Ketua serta hakim-hakim yangmemutus dan
panitera yang ikut serta bersidang.
4.
Penetapan-penetapan,
ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang
pemeriksaan sidang ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera.
BAB III.
HUBUNGAN PENGADILAN
DAN PEMERINTAH.
Pasal 18.
Semua pengadilan dapat memberi keterangan,
pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal hukum kepada Pemerintah, apabila
diminta.
Pasal 19.
Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara
dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat
turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan.
BAB IV.
HAKIM DAN
KEWAJIBANNYA.
Pasal 20.
1.
Hakim
sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar
mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.
2.
Dalam
mempertimbangkan berat-ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.
Pasal 21.
1.
Tertuduh
mempunyai hak ingkar terhadap hakim.
2.
Apabila
seorang hakim masih terikat dalam hubungan kekeluargaan tertentu dengan hakim
anggota, jaksa, penasehat hukum atau panitera dalam suatu perkara tertentu, ia
wajib sukarela mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.
3.
Begitu
pula apabila hakim anggota, penuntut umum atau panitera masih terikat dalam
hubungan kekeluargaan tertentu dengan yang diadili, ia wajib sukarela
mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.
Pasal 22.
Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai
hakim ditentukan dengan Undang-undang.
Pasal 23.
1.
Sebelum
melakukan jabatannya, hakim, panitera, panitera- pengganti dan juru sita untuk
masing-masing lingkungan peradilan, mengucapkan sumpah menurut cara agama yang
dipeluknya atau janji.
2.
Sumpah/janji
berbunyi sebagai berikut:
"Saya
bersumpah/berjanji:
bahwa saja akan setia kepada Negara,
Undang-undang Dasar Republik Indonesia,
Revolusi Indonesia
serta kepada Haluan Negara dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;
bahwa sesungguhnya saya tidak, baik dengan
langsung, maupun dengan tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, untuk memperoleh jabatan saya, telah atau akan memberi atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
bahwa saya tidak akan menerima pemberian atau
hadiah dari orang yang saya ketahui atau sangka, sedang atau akan berperkara,
yang mungkin akan mengenai pelaksanaan jabatan saya;
bahwa selanjutnya saya akan menjalankan
jabatan saya dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya, seperti selayaknya bagi seorang
Hakim (pegawai kehakiman) yang berbudi baik dan jujur".
BAB V.
PELAKSANAAN PUTUSAN.
Pasal 24.
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur dengan
Undang-undang.
Pasal 25.
Dalam melaksanakan putusan pengadilan
diusahakan supaya keadilan dan perikemanusiaan tetap terpelihara.
BAB VI.
BANTUAN HUKUM.
Pasal 26.
Hak setiap orang yang mempunyai perkara untuk
memperoleh bantuan hukum diatur dengan Undang-undang.
Pasal 27.
Dengan tidak merugikan kepentingan
pemeriksaan dalam perkara pidana penasehat hukum semenjak saat dilakukan
penangkapan dan penahanan seseorang dibolehkan menghubungi dan memberi bantuan
hukum padanya, dengan tidak menghadiri pemeriksaan permulaan, menurut
ketentuan-ketentuan Undang-undang.
Pasal 28.
Dalam pemberian bantuan itu penasehat hukum
wajib senantiasa berusaha dalam rangka tujuan peradilan melancarkan
penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, Manipol serta
pedoman-pedoman pelaksanaannya serta rasa keadilan.
Pasal 29.
Semua peraturan-peraturan yang mengatur
ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 30.
Undang-undang ini dinamakan Undang-undang
pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 31.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari
diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkah di Jakarta
pada tanggal 31
Oktober 1964.
PD. PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Dr. SUBANDRIO.
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 31
Oktober 1964.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 19
TAHUN 1964
Tentang
KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.
I.
UMUM.
Undang-undang
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman bertujuan meletakkan
dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan, mengatur hubungan peradilan dengan
pencari keadilan. Susunan, acara, pembagian pekerjaan antara para petugas
pengadilan tidak diatur disini melainkan dalam peraturan-peraturan tersendiri
dengan ketentuan, bahwa Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan Kehakiman ini, merupakan induknya atau pedoman-pedoman bagi
ketentuan-ketentuan lain itu, yang hanya merupakan pelaksanaan dari padanya.
Mengingat
Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, § 402 No. 34 - 37, maka dalam
Undang-undang ini diusahakan, supaya semua ketentuan yang sesuai dan memupuk
kepribadian Indonesia, dicantumkan, sehingga merupakan suatu peraturan yang
sesuai dengan Pancasila dan Manipol/Usdek. Pribadi manusia Indonesia
dengan dan di dalam masyarakat memperoleh sorotan yang tajam dan memperoleh
jaminan yang wajar pula. Dijaga pula, supaya keadilan dijalankan dengan
seobyektif- obyektifnya dengan diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan oleh
3 orang hakim, kemungkinan diadakannya peninjauan kembali putusan pengadilan,
pemberian bantuan hukum semenjak seorang ditahan, dan kemungkinan untuk
mengganti kerugian serta rehabilitasi seorang yang tanpa alasan yang sah atau
karena kekeliruan telah ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan
dibukanya kemungkinan pula untuk dituntutnya pejabat yang dengan sengaja telah
mengakibatkan penderitaan yang tak wajar.
Ditegaskan,
bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat bagi
peradilan swapraja atau peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih
ada, maka selekas mungkin mereka akan dihapuskan, seperti yang secara
berangsur-angsur telah dilakukan. Ketentuan itu tidaklah bermaksud untuk
mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat. melainkan hanya akan
mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada Pengadilan-pengadilan
Negara. Dengan ketentuan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin
sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan
berjalan secara wajar, sehingga turut serta secara aktif merealisasikan
penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia.
Walaupun
pemeriksaan di sidang akan dilakukan oleh 3 orang hakim, namun harus diusahakan
supaya azas, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan murah tetap
dipegang teguh. Dalam hukum acara disediakan peraturan tentang pemeriksaan dan
pembuktian yang jauh lebih sederhana sebagaimana akan diatur dalam
Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Peradilan
dilakukan "Demi Keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa" yang bukan
berarti keadilan yang subyektif, melainkan keadilan yang seobyektif-obyektifnya
dalam rangka Pancasila dan Manipol, yang dalam Undang-undang ini diusahakan
dengan beberapa ketentuan tentang syarat sebagai hakim, pemeriksaan yang
dilakukan oleh 3 orang hakim, kewajiban untuk mengintegrasikan diri dalam
masyarakat bagi hakim, adanya penasehat hukum, sidang yang terbuka untuk umum
pada azasnya jaminan-jaminan bagi manusia yang sesuai dengan Pancasila serta
pedoman-pedoman pelaksanaannya dan lain sebagainya.
Mengingat
luas wilayah Republik Indonesia dan mengingat pula, bahwa berhubung alat-alat
pengangkutan masih jauh dari mencukupi, sedang disegala pelosok tanah air kita
terdapat pencari keadilan, maka diadakanlah ketentuan, bahwa apabila pada suatu
daerah terdapat kekurangan tenaga Hakim, Menteri yang bersangkutan dapat
menyimpang dari ketentuan, bahwa pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga
orang hakim. Hanya dalam perkara-perkara kejahatan yang berat seperti
perkara-perkara subersi, kontra-revolusi, korupsi besar, dan lain-lain
kejahatan dari musuh-musuh revolusi atau yang membawa akibat luas dalam
masyarakat, yang ditetapkan dengan Undang-undang penuntut umum berhak banding,
juga terhadap putusan hakim yang membebaskan tertuduh dari segala tuntutan.
Salah
suatu hal yang dalam hukum acara yang lalu tidak diatur, adalah peninjauan
kembali putusan. Putusan pengadilan dijatuhkan oleh hakim, yang juga adalah
seorang manusia biasa, yang tidak terluput dari kesalahan dan kekhilafan.
Karena itulah dibuka kemungkinan untuk memohon peninjauan kembali putusan.
Syarat-syaratnya akan diatur tersendiri, yaitu dalam hukum acara. Dengan adanya
Lembaga peninjauan kembali putusan, diusahakanlah supaya pengadilan benar-benar
menjalankan keadilan sehingga para pencari keadilan akan dipenuhi hasratnya
dalam mencari keadilan. Dalam hal ini mungkin terkena gengsi hakim yang telah
memutus dalam tingkat pertama, namun demi keadilan dan demi Pengayoman pula
para pencari keadilan wajiblah dijunjung tinggi kepentingannya. Adalah sesuai
dengan Pancasila dan Manipol/Usdek serta pedoman-pedoman pelaksanaannya, bahwa
peradilan Negara Republik Indonesia mempunyai lembaga peninjauan kembali
putusan, karena tidak dapat disangkal lagi bahwa Negara kita adalah Negara yang
berlandaskan hukum.
Suatu
lembaga yang baru adalah turun atau campur tangan Presiden dalam urusan
peradilan. Bila kita memegang teguh Trias Politica, maka pastilah lembaga ini
tidak akan dapat ditolerir. Namun kita tidak lagi mengakui Trias Politica. Kita
berada dalam Revolusi dan demi penyelesaian Revolusi tahap demi tahap sampai
tercapai masyarakat yang adil dan makmur, kita persatukan segala tenaga yang
progresif termasuk badan-badan dan alat-alat Negara yang kita jadikan alat
Revolusi. Berhubung dengan itu Trias Politica tidak mempunyai tempat sama
sekali dalam Hukum Nasional Indonesia. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus
dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam
hal-hal yang tertentu. Hal-hal yang tertentu ini yalah:
1.
Kepentingan
Revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat.
2.
Kesemuanya
yang tersebut di atas itu harus sangat mendesak.
Tentulah
jalan biasa dapat ditempuh, yaitu menunggu, hingga telah dijatuhkan putusan dan
kemudian Kepala Negara memberi grasi akan tetapi jalan ini memakan waktu,
sedang kepentingan Revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan
masyarakat yang sangat mendesak kadang-kadang tidak dapat menunggu demikian
lama. Untuk hal yang demikian inilah diperlukan kebebasan dari
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk turun atau campur tangan dalam
pengadilan.
II.
PASAL
DEMI PASAL.
Pasal 1.
Peradilan adalah peradilan negara, yang
menjalankan dan melaksanakan fungsi Hukum sebagai Pengayoman dalam Negara
Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Manipol/ Usdek, yang menuju masyarakat Sosialis Indonesia.
Tidak ada tempat bagi peradilan Swapraja yang bersifat faodalistis, atau
peradilan Adat yang dilakukan bukan alat perlengkapan Negara. Bahwa di sana sini diadakan
perdamaian atau perwasitan, tidaklah dilarang, bahkan dianjurkan, namun perlu
diperhatikan, bahwa Negara tidak memberi kekuatan atau akibat hukum terhadap
putusan perdamaian atau perwasitan. Keadilan dapat dicari dan diperoleh pada
pengadilan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman. Dengan demikian
diusahakan supaya perkembangan hukum dapat berjalan secara terpimpin dan wajar.
Pasal 2.
1.
"Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah disesuaikan dengan
pasal 29 Undang-undang Dasar yang berbunyi:
a.
Negara
berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa;
b.
Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Rumusan ini berlaku untuk semua pengadilan
dalam semua lingkungan peradilan.
2.
Peradilan
harus sederhana. Tidak perlu satu acara yang berbelit-belit, yang tidak
memuaskan pencari keadilan. Hukum adalah diperuntukkan bagi mereka, karena
itulah mereka wajib mengerti hukumnya. Peradilan harus cepat, hanya dengan
kecepatan, perasaan keadilan dapat dipenuhi. Proses yang bertahun-tahun, yang
kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahliwaris pencari keadilan, harus
dihindarkan sejauh-jauhnya. Peradilan harus murah. Pengadilan adalah untuk
rakyat karena itu peradilan harus dilakukan dengan biaya yang ringan supaya
rakyat pencari keadilan dapat membayarnya.
Pasal 3.
Ini adalah sendi peradilan. Di sini terlihat
dengan jelas hasrat Pemerintah untuk memupuk dan membina kepribadian
pengadilan.
Pengadilan mengadili menurut hukum yang
dijalankannya dengan kesadaran, bahwa hukum adalah landasan dan alat Negara dan
dimana Negara ada di dalam Revolusi menjadi alat Revolusi, yang memberi
Pengayoman agar cita-cita luhur Bangsa tercapai dan terpelihara dan bahwa
sifat-sifat hukum adalah berakar pada kepribadian Bangsa, serta dengan
kesadaran bahwa tugas Hakim ialah dengan bertanggung-jawab sepenuhnya kepada
negara dan Revolusi turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan
makmur yang berkepribadian Pancasila, menurut garis-garis besar haluan Negara.
Pasal 4 sampai dengan
6.
Di sini nampak penjunjungan tinggi
kepribadian manusia dengan dan di dalam masyarakat, sesuai dengan Pancasila.
Pasal 7
1.
Undang-undang
ini membedakan antar Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha
Negara.
Peradilan
Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan
Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.
Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata-Usaha Negara adalah yang disebut
"peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut
"peradilan kepegawaian" dalam pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun
1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961
No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).
2.
Cukup
jelas.
3.
Tata-Usaha
Negara tentang soal-soal Organisatoris administratif dan finansiil ada di bawah
kekuasaan Departemen Kehakiman.
4.
Cukup
jelas.
Pasal 8.
1.
Dengan
peradilan yang dijalankan oleh 3 orang hakim secara kolegial ini, maka
dijaminlah pemberian keadilan yang seobyektif-obyektifnya.
2.
Untuk
memperlancar jalannya peradilan, maka mengenai perkara-perkara kecil seperti
pelanggaran dan kejahatan yang bersifat sederhana baik mengenai pembuktiannya
maupun penjatuhan pidananya diadakan peradilan kilat yang dilakukan oleh
seorang Hakim. Di daerah-daerah dimana masih sangat terasa akan kekurangan
tenaga hakim dan dimana jarak antara satu tempat dan lainnya sangatlah jauh,
sedang alat pengangkutan juga masih sangat tidak memuaskan, amat sukar untuk
dengan sekaligus berpijak pada azas peradilan dengan 3 orang hakim. Namun
keadilan ini tidak dapat berlangsung selamanya, karena itu batas waktu
diberikan kepada penyimpangan tersebut, sehingga benar-benar akan merupakan
pendorong bagi Menteri yang bersangkutan untuk dalam waktu yang singkat
memenuhi azas peradilan dengan 3 orang hakim.
3.
Ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang yang mengatur badan-badan Peradilan Agama dan tentang
Mahkamah Agung mengenai lingkungan Peradilan Agama wewenang atau kekuasaannya,
susunan dan hukum acara direncanakan oleh Departemen Agama dan harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum dari agama yang bersangkutan.
4.
Cukup
jelas.
Pasal 9.
Cukup jelas.
Pasal 10.
Dengan positif ditentukan bahwa hakim wajib
mencari dan menemukan hukum. Hakim dianggap mengenal hukum. Karena itu ia tidak
boleh menolak memberi keadilan. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam
masyarakat. Andai kata ia tidak dapat menemukan hukum tertulisnya. Ia wajib mencari
hukum tak tertulisnya atau memutus sebagai seorang yang bijaksana dengan
bertanggung-jawab kepada Negara dan Revolusi. Ia wajib berani memutus, demi
keadilan dan Pengayoman, untuk ikut serta membangun masyarakat yang adil dan
makmur. Penolakannya akan sungguh menurunkan derajat dan martabatnya.
Pasal 11.
Untuk kepentingan peradilan dirasakan perlu
untuk mengadakan kerjasama yang baik antara semua pengadilan dari berbagai
lingkungan peradilan. Maka sudah sewajarnyalah apabila semua pengadilan itu
wajib saling memberi keterangan yang diminta.
Pasal 12.
Alasan-alasan yang penting diantaranya yalah
bila terdapat perkara kesusilaan, perkara rahasia negara dan sebagainya.
Pasal 13.
Cukup jelas.
Pasal 14.
1.
Cukup
jelas.
2.
Oleh
karena hakim dan penuntut umum masing-masing merupakan Alat Revolusi maka sudah
sewajarnyalah bahwa sebelum hakim menjatuhkan putusan terakhir dalam perkara
pidana diadakanlah musyawarah dengan penuntut umum. Hak penuntut umum untuk
minta banding terutama ditujukan terhadap perkara-perkara yang menyangkut
kepentingan Revolusi seperti perkara subversi. korupsi dan lain sebagainya
serta juga terhadap perkara-perkara yang menyangkut rasa keadilan masyarakat
yang ditetapkan di dalam Undang-undang.
Mengingat
kepentingan-kepentingan tersebut adalah kepentingan-kepentingan yang perlu
sekali mendapat perlindungan maka hak minta banding bagi Penuntut Umum juga
berlaku terhadap putusan Pengadilan yang menyatakan pembebasan terdakwa dari
segala tuduhan.
3.
Cukup
jelas.
Pasal 15.
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali
putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat
hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum
lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum
Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila
terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu
dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.
Pasal 16.
Pasal ini mengatur koneksitas antara
pengadilan dari beberapa lingkungan. Dalam hal ini ditentukan, bahwa mereka
diadili oleh pengadilannya masing-masing. Undang-undang dapat menetapkan bahwa
terhadap ketentuan ini dapat diadakan penyimpangan. Di dalam Undang-undang No.
5 Tahun 1950 ditentukan bahwa penyimpangan dapat dilakukan atas persetujuan
Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan.
Pasal 17.
Cukup jelas.
Pasal 18.
Dengan Pemerintah dimaksudkan bukan
Pemerintah Pusat saja, melainkan juga Pemerintah Daerah.
Pasal 19.
Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang. Sandaran yang terutama
bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah Pancasila dan Manipol/Usdek.
Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang
diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi Hukum
sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun
dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan
Negara dan Bangsa yang lebih besar.
Tidak diadilinya seseorang, atau cara-cara
maupun susunan pengadilannya, mungkin dapat ditentukan oleh Presiden dalam hal
itu. Akan tetapi, keadilan ini adalah keadaan perkecualian yang istimewa.
Syaratnya yalah apabila kehormatan Negara dan Bangsa yang sangat mendesak,
memerlukan turun atau campur tangan Presiden. Memang jalan biasa dapat
ditempuh. Presiden dapat menanti hingga perkara selesai diadili dan diputus dan
baru kemudian memberi grasi. Akan tetapi mungkin jalan ini terlalu panjang dan
lama. Itulah sebabnya bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak,
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi diberi wewenang untuk turun atau campur
tangan.
Pasal 20
1.
Hakim
adalah alat Revolusi. Sebagai alat Revolusi ia wajib mengenal Revolusi. Untuk
mengenal Revolusi, ia tidak boleh memisahkan atau mengasingkan diri dari
masyarakat. Ia tidak boleh takut, bahwa ia akan dituduh memihak. Ia memang
memihak, akan tetapi memihak kepada Revolusi dan kebenaran.
Hanya dengan terjun
secara aktif dalam masyarakat, dengan aktif ikut serta dalam pergolakan
masyarakat, dengan pula ikut serta membangun masyarakat yang adil dan makmur,
ia akan mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan keadilan rakyat.
Dengan demikian ia
akan dapat menggali nilai-nilai hukum dan dengan demikian pula ia akan dapat
menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman dengan sempurna.
2.
Baik
sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari orang yang akan dijatuhi pidana
wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi ini sangat penting untuk bahan permusyawaratan tentang
seseorang terutama untuk mempertimbangkan alat-alat yang akan diterapkan
terhadapnya.
Keadaan-keadaan
pribadi ini dapat diperoleh dari keterangan kawan-kawan orang itu yang dekat,
kepala Rukun Tetangganya, keterangan seorang dokter akhli jiwa dan sebagainya.
Pasal 21.
1.
Yang
dimaksudkan dengan "hak ingkar" adalah hak seorang tertuduh untuk menolak
diadili oleh seorang hakim. Apabila hakim mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan sitertuduh atau mempunyai kepentingan secara langsung atau tidak
langsung dalam perkaranya, maka sitertuduh dapat mempergunakan hak ingkarnya
terhadap hakim dengan mengemukakan keberatan-keberatan untuk diadili oleh hakim
yang bersangkutan.
2.
Cukup
jelas.
3.
Cukup
jelas.
Pasal 22 sampai
dengan 25.
Cukup jelas.
Pasal 26.
Merupakan azas yang sangat penting, bahwa
seorang yang terkena perkara mempunyai wewenang untuk memperoleh bantuan hukum.
Hal ini dianggap perlu karena seorang yang terkena perkara, wajib diberi
perlindungan sewajarnya, sehingga ia dapat benar-benar merasakan, bahwa dalam
keadaan bagaimanapun baginya, hukum tetap berfungsi sebagai pengayoman. Dalam
pada itu perlu diingat pula, bahwa walaupun ia telah ditangkap, ditahan,
dituntut dan diadili, ia dianggap tidak bersalah, sebelum putusan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Karena pentingnya kedudukan penasehat hukum, maka
diusahakan supaya diadakan Undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum.
Pasal 27.
Sesuai dengan rasa perikemanusiaan maka
seorang tertuduh, selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak
bersalah dan harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu ia harus dibolehkan untuk
berhubungan dengan keluarga atau penasehat hukumnya sejak ia ditahan. Tapi
hubungan ini dengan sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan
yang dimulai dengan penyidikan. Untuk itu pegawai penyidik dapat melakukan
pengawasan terhadap hubungan tersebut dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk
jaksa dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana.
Pasal 28 sampai
dengan 31.
Cukup jelas.
Mengetahui :
Sekretaris Negara,
MOHD. ICHSAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar