Sabtu, 15 September 2012

KUHP


KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

NOMOR 8 TAHUN 1981


 Bab I               : Ketentuan Umum
 Bab II              : Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
 Bab III             : Dasar Peradilan
 Bab IV            : Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
 Bab IV            : Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
 Bab IV            : Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
 Bab V             : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
                          Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
 Bab V             : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
                          Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
 Bab V             : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
                          Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
 Bab V             : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
                          Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
 Bab V             : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
                          Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
 Bab VI            : Tersangka dan Terdakwa
 Bab VII           : Bantuan Hukum
 Bab VIII          : Berita Acara
 Bab IX            : Sumpah atau Janji
 Bab X             : Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
 Bab X             : Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan   Negeri
Bab X             : Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X             : Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
 Bab XI            : Koneksitas
 Bab XII           : Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
 Bab XII           : Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
 Bab XIII          : Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
 Bab XIV          : Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
 Bab XIV          : Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
 Bab XV           : Penuntutan
 Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa Mengenai     Wewenang Mengadili
Bab XVI           : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
 Bab XVI          : Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
 Bab XVII         : Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
 Bab XVII         : Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
 Bab XVIII        : Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
                          Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII         : Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
 Bab XIX          : Pelaksanaan Putusan Pengadilan
 Bab XX           : Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
 Bab XXI          : Ketentuan Peralihan
 Bab XXII         : Ketentuan Penutup
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:

1.         Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2.         Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3.         Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4.         Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.         Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6.         Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

7.         Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8.         Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
9.         Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10.      Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a.         sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
b.         sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.         permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

11.      Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12.      Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13.      Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.      Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15.      Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
16.      Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
17.      Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
18.      Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.      Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.      Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21.      Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.      Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
23.      Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
24.      Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25.      Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26.      Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.      Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28.      Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29.      Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
30.      Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.      Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32.      Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 2

Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.

BAB III

DASAR PERADILAN

Pasal 3

Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

BAB IV

PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM

Bagian Kesatu

Penyelidik dan Penyidik

Pasal 4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Pasal 5

1.         Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:

a.         Karena kewajibannya mempunyai wewenang :


1)        menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2)        mencari keterangan dan barang bukti;
3)        menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4)        mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b.         atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:


1)        penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2)        pemeriksaan dan penyitaan surat;
3)        mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4)        membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2.         Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 6

1.         Penyidik adalah:


a.         pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b.         pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

2.         Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7

1.         Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a.         menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b.         melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.         menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.         melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.         melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.          mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.         memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.         mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.           mengadakan penghentian penyidikan;
j.           mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.         Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
3.         Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Pasal 8

1.         Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
2.         Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
3.         Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:


a.         pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
b.         dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Pasal 9

Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.

BAB IV

PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM

Bagian Kedua

Penyidik Pembantu

Pasal 10

1.         Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
2.         Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 11

Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Pasal 12

Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.

BAB IV

PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM

Bagian Ketiga

Penuntut Umum

Pasal 13

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14

Penuntut umum mempunyai wewenang:

a.         menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.         mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.         memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.         membuat surat dakwaan;
e.         melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.          menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.         melakukan penuntutan;
h.         menutup perkara demi kepentingan hukum;
i.          mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j.          melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 15

Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

BAB V

PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Kesatu

Penangkapan

Pasal 16

1.         Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2.         Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Pasal 17

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 18

1.         Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
2.         Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
3.         Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Pasal 19

1.         Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
2.         Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

BAB V

PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Kedua

Penahanan

Pasal 20

1.         Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
2.         Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
3.         Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Pasal 21

1.         Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
2.         Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
3.         Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
4.         Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a.         tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.         tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Pasal 22

1.         Jenis penahanan dapat berupa:

a.         penahanan rumah tahanan negara;
b.         penahanan rumah;
c.         penahanan kota.

2.         Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
3.         Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang ditentukan.
4.         Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang dijatuhkan.
5.         Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu penahanan.

Pasal 23

1.         Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
2.         Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan.

Pasal 24

1.         Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
2.         Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
3.         Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4.         Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum.

Pasal 25

1.         Penintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari.
2.         Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
3.         Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4.         Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 26

1.         Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
2.         Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
3.         Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4.         Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.

Pasal 27

1.         Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
2.         Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
3.         Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4.         Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.

Pasal 28

1.         Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari.
2.         Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.
3.         Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4.         Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.

Pasal 29

1.         Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

a.         tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b.         perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.

2.         Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
3.         Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat:

a.         penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b.         pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c.         pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d.         pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

4.         Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab.
5.         Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
6.         Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7.         Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:

a.         penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.         pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 30

Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.

Pasal 31

1.         Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
2.         Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB V

PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Ketiga

Penggeledahan

Pasal 32

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 33

1.         Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
2.         Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
3.         Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
4.         Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5.         Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34

1.         Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:

a.         pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;
b.         pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c.         di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya

2.         Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 35

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:

a.         ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.         tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c.         ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Pasal 36

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.

Pasal 37

1.         Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
2.         Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.

BAB V

PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Keempat

Penyitaan

Pasal 38

1.         Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
2.         Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39

1.         Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a.         benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
b.         benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.         benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.         benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.         benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

2.         Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Pasal 40

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Pasal 41

Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan.

Pasal 42

1.         Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
2.         Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakah alat untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 43

Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeni setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 44

1.         Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
2.         Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 45

1.         Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:

a.         apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b.         apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.

2.         Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
3.         Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4.         Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

Pasal 46

1.         Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a.         kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.         perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c.         perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

2.         Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain.

BAB V

PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Kelima

Pemeriksaan Surat

Pasal 47

1.         Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
2.         Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
3.         Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.

Pasal 48

1.         Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
2.         Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik.
3.         Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.

Pasal 49

1.         Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.
2.         Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.

BAB VI

TERSANGKA DAN TERDAKWA

Pasal 50

1.         Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2.         Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
3.         Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Pasal 51

Untuk rnempersiapkan pembelaan:

a.         tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai,
b.         terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya

Pasal 52

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

Pasal 53

1.         Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
2.         Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana dimaksud dalam Pasal 178.

Pasal 54

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 55

Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih sendiri penasihat hukumnya.

Pasal 56

1.         Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2.         Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 57

1.         Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
2.         Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

Pasal 58

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng hubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Pasal 59

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

Pasal 60

Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

Pasal 61

Tersangka atau terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.

Pasal 62

1.         Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
2.         Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
3.         Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah ditilik".

Pasal 63

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.

Pasal 64

Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

Pasal 65

Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

Pasal 66

Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Pasal 67

Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

Pasal 68

Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95.

BAB VII

BANTUAN HUKUM

Pasal 69

Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 70

1.         Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
2.         Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum.
3.         Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
4.         Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.

Pasal 71

1.         Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
2.         Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.

Pasal 72

Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya.

Pasal 73

Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.

Pasal 74

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.

BAB VIII

BERITA ACARA

Pasal 75

1.         Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:

a.         pemeriksaan tersangka;
b.         penangkapan
c.         penahanan;
d.         penggeledahan;
e.         pemasukan rumah;
f.          penyitaan benda;
g.         pemeriksaan surat;
h.         pemeriksaan saksi;
i.           pemeriksaan di tempat kejadian;
j.           pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k.         pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

2.         Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
3.         Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut pada ayat (1).

BAB IX

SUMPAH ATAU JANJI

Pasal 76

1.         Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya.
2.         Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar