UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000
NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun;
b. bahwa untuk ikut
serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta
memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan
ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia
untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan
ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia;
c. bahwa pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 );
4. Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini.
3. Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4. Setiap orang adalah
orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual.
5. Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna
ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
PENGADILAN HAM
PENGADILAN HAM
Bagian Kesatu
Kedudukan
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan
HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Tempat Kedudukan
Pasal 3
(1)
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III
LINGKUP KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Pasal 5
Pengadilan
HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan
HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Pasal 7
Pelanggaran
hak asasi manusia yang berat meliputi:a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan
genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota
kelompok;
b. mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya;
d. memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 10
Dalam hal
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
acara pidana.
Bagian Kedua
Penangkapan
Penangkapan
Pasal 11
(1) Jaksa
Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan
penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Bagian Ketiga
Penahanan
Penahanan
Pasal 12
(1) Jaksa
Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 13
(1)
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90
(sembilan puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 14
(1)
Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30
(tiga puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15
(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 16
(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17
(1)
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Penyelidikan
Penyelidikan
Pasal 18
(1)
Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Pasal 19
(1) Dalam
melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik
berwenang:
a. melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat;
b. menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;
c. memanggil pihak
pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya;
d. memanggil saksi untuk
diminta dan didengar kesaksiannya;
e. meninjau dan
mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu;
f. memanggil pihak
terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g. atas perintah
penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1)
pemeriksaan surat;2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.
Pasal 20
(1) Dalam
hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti
permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Bagian Kelima
Penyidikan
Penyidikan
Pasal 21
(1)
Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh
Jaksa Agung.(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
(5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik
Indonesia;
b. berumur
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d. sehat jasmani
dan rohani;
e. berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 22
(1)
Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib
diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
(5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.
(6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Penuntutan
Penuntutan
Pasal 23
(1)
Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh
Jaksa Agung.(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik
Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya
40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana
hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d. sehat jasmani
dan rohani;
e. berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela;
- setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 24
Penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan
paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan
diterima.
Pasal 25
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara
tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Bagian Ketujuh
Sumpah
Sumpah
Pasal 26
Sumpah
penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut :"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Umum
Umum
Pasal 27
(1) Perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Hakim ad
hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Ketua Mahkamah Agung.(2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Paragraf 2
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pasal 29
Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
1. warga negara Republik
Indonesia;
2. bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
3. berumur
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
4. berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
5. sehat jasmani dan
rohani;
6. berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7. setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
- memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 30
Hakim ad hoc
yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan
tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang
lafalnya berbunyi sebagai berikut :"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam
melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Acara Pemeriksaan
Pasal 31
Perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari
terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM.
Pasal 32
(1) Dalam
hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tinggi.(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
(1) Dalam
hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.
(4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.
(6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik
Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
c. berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d. berpendidikan sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
e. sehat jasmani dan
rohani;
f. berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h. memiliki pengetahuan
dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
BAB V
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI
Pasal 34
(1) Setiap
korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun.(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 35
(1) Setiap
korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d,
atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 37
Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e,
atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 38
Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5
(lima) tahun.
Pasal 39
Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5
(lima) tahun.
Pasal 40
Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling
singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 41
Percobaan,
permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39,
dan Pasal 40.
Pasal 42
(1) Komandan
militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya
yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan
pengendalian pasukan secara patut, yaitu : - komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
- komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
- atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
- atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
BAB VIII
PENGADILAN HAM AD HOC
Pasal 43
(1)
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan
di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Untuk
pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan,
dan Makassar.(2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di:
a. Jakarta Pusat yang
meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b. Surabaya yang
meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur;
c. Makassar yang
meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
d. Medan yang meliputi
Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
Pasal 47
(1)
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 48
Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah
atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 49
Ketentuan
mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.
Pasal 50
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911)
dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2000 NOMOR 208
Penjelasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar