UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harusdiberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945
b.
bahwa
akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomlan negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c.
bahwa
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsl
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang baru sehingga diharapkan labih efektif dalam mencegah dan
momberantas tindak pidana korupsi;
d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud . dalam huruf a. b, dan c perlu
dibentuk Undang-undang.yang baru tentang Pomberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat :
1.
Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelengpara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang Ini yang dimaksud dengan:
1.
Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2.
pegawai
Negeri adalah meliputi :
a.
pegawai
negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian;
b.
pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c.
orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.
orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah; atau
e.
orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi .
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
1.
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.
Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan ataudenda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (rima)
tahun dan atau denda paling Sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjarm paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus km puiuh jute
ruplah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima pulufl juta
rupiah).
Pasal 7
Setiap oranq yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undanq Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tige ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 -(tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagalmana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (Nma)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau
Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana (3) dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji
kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat
pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap,
melekat pada jabatan atau kedudukantersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan
Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan
pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3,
Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di dalam wilayah negara Republik
Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal
5 sampai dengan Pasal (7)
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3 Pasal 5 sampai dengan pasal 14 terdakwa dapat
dijatuhi tambahan sebagaimana dimaksud dalam.
Pasal 18.
1.
Selain
pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana
tambahan adalah :
a.
perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak
yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun
harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b.
pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.
penutupan
usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d.
pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana;
2.
Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3.
Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
1.
Putusan
pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
2.
Dalam
hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang
pihak ke yang mempunyai itikad baik maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan
surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 2
(dun) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
3.
Pengajuan
surat keberatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau merighentikan
pelaksanaan putusan pengadilan.
4.
Dalam
kaadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut
umum dan pihak yang berkepentingan.
5.
Penetapan
hakim atas surat
keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
1.
Dalam
hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
2.
Tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
3.
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terusdiwakili
oleh pengurus.
4.
Penqurus
yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh
orang lain
5.
Hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan
dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
6.
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap
dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan ke pengurus ditempat tinggal pengurus atau
ditempat pengurus berkantor.
7.
Pidana
pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
TINDAK PIDANA BAB III
LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara
korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal
28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 220, pasal 231, Pasal 421, pasal
442, pasal 429 atau pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) Tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(Tiga ratus juta rupiah)
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah)
BAB IV
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN,
DAN PEMERIKSAAN Di
SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut
pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain
guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi
Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib
memberikan beri keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui
dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan tersangka.
Pasal 29
1.
Untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
2.
Permintaan
keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Gubernur Bank Indonesia
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
3.
Gubernur
Bank Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen
permintaan diterima secara lengkap.
4.
Penyidik,
penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi .
5.
Dalam
hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti
yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari
itu juga mencabut pernblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan
menyita surat
dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
1.
Dalam
penyidikan den pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor,
atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
2.
Sebelum
perneriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
1.
Dalam
hal ponyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsure tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada
Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
2.
Putusan
bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah, ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara siding tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.
Pasal 35
1.
Setiap
orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu,
kakek, nenek, saudara kandung. Istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
2.
Orang
yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas
oleh terdakwa.
3.
Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai, saksi, tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan,
harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali
petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37
1.
Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2.
Dalam
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
3.
Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
4.
Dalam
hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5.
Dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
1.
Dalam
hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya.
2.
Dalam
hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya dlanggap sebagai diucapkan dalam sidang yang
sekarang.
3.
Putusan
yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada
papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada kuasanya.
4.
Terdakwa
atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
5.
Dalam
hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita.
6.
Penetapan
perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya
banding.
7.
Setiap
orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang
telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan
Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk
mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA
MASYARAKAT
Pasal 41
1.
Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2.
Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a.
hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b.
hak
untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi;
c.
hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d.
hak
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e.
hak
untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1)
melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2)
diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai
saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3)
Masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam
upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
4)
Hak
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
dan norma sosial lainnya;
5)
Ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
1.
Pemerintah
memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu
upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
2.
Ketentuan
mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
1.
Dalam
waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan
unsur masyarakat.
4.
Ketentuan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas
dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dmaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini,
maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang Ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16
Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF
HABIBIE
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 16
Agustus 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 140
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
1.
U
M U M
Pembangunan
Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta
tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan
korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada
gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu,
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No.
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu
memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena:
a.
berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara,
baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.
berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara
adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar
dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang
diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan
materiil. Dengan perumusan tsb, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Dalam Undang-undang ini,
tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal
ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut
dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikankepada
negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah
korporasi Sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal
ini tidak diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Dalam rangka mencapai
tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi,
Undang-undang ini memuat pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya,
yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yanglebih tinggi,
dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu,
Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi
yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian
negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang a.l.
adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan
fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk,
misalnya bunga pinjaman yang tidakwajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin
yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal baru lainnya adalah dalam
hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim
gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan
penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia
dari tersangka atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan
penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara
untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Di
samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara ybs., dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang
berperan serta tsb diberikan perlindungan hukurn dan penghargaan. Selain
memberikan peran serta masyarakat tsb, Undang-undang ini juga mengamanatkan
pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam
Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan
pertimbangan tsb di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.
2.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara melawan
hukum" dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tsb tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tsb dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat. Maka perbuatan tsb dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata
"dapat"sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian
negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil,
yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur- unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan "keadaan
tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku
tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pasal 3
Kata "dapat" dalam ketentuan ini diartikan sama dengan
Penjelasan Pasal 2.
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal
dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak
menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
Pasal 5 dan Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam ketentuan ini, frasa "Angkatan
Laut atau Angkatan Darat yang dimuat dalam Pasal 388 KUHP harus dibaca
"Tentara Nasional Indonesia".
Pasal 8 s/d Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang
ini"
adalah baik hukum pidana materiil maupun
hukum pidana formil.
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3
(satu
pertiga) dari ancaman pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga
segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi
antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan
"bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan" dalam ketentuan ini
adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a dan huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan "penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan" adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk
sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.
huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka
negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil
lelang atas barang tsb.
Ayat (4) dan Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengurus" adalah organ korporasi yang
menjalankan kepengurusan korporasi ybs. Sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ayat (2) s/d Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21 s/d Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan
untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tsb diserahkan pada
tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan
penyadapan (wiretaping).
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya", a.l tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan
pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang
moneter dan keuangan yang:
a.
bersifat
lintas sektoral;
b.
dilakukan
dengan menggunakan teknologi canggih atau
c.
dilakukan
oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan,
penuntutan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan
koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "rekening simpanan" adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk
lain yang dipersamakan dengan itu termasuk penitipan (custodian) dan
penyimpanan barang atau surat
berharga (safe-deposit box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk
bunga deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh darisimpanan
tsb.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam
rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalamKitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh
izin teriebih dahuiu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah
orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu
tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "putusan bebas" adalah putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan "ahli waris" dalam Pasal ini adalah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan "petugas agama" dalam Pasal ini adalah
hanya petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang
dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
Pasal 37
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa
dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila
terdakwa dapat membuktikan hal tsb tidak berarti ia tidak terbukti melakukan
korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa
masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara
sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh
hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Putusan" yang diumumkan atau
diberitahukan adalah petikan surat
putusan pengadilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan
negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang
beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin
dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak
pidana korupsi.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "mengkoordinasikan" adalah kewenangan
Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a s/d Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap Pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa
aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam tindak pidana korupsi
dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun
premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43 s/d Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3874
Tidak ada komentar:
Posting Komentar