UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16
TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka
penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai
tujuan nasional;
b.
bahwa
Kejaksaan Republik Indonesia
termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.
bahwa
untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun;
d.
bahwa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat :
a.
Pasal
20, Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
c.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a.
Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang
b.
Penuntut
Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c.
Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
d.
Jabatan
Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi
kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas
kejaksaan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
1.
Kejaksaan
Republik Indonesia
yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
2.
Kekuasaan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3.
Kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi,
dan kejaksaan negeri.
Pasal 4
1.
Kejaksaan
Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia
2.
Kejaksaan
tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.
3.
Kejaksaan
negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah kabupaten/kota.
BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan
Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Pasal 6
1.
Susunan
organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa
Agung.
2.
Kejaksaan
tinggi dan kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa
Agung.
Pasal 7
1.
Dalam
hal tertentu di daerah hukum kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang kejaksaan
negeri.
2.
Cabang
kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.
Bagian Kedua
Jaksa
Pasal 8
1.
Jaksa
diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
2.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara
serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
3.
Demi
keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan
penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
4.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan
hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta
wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam
masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.
5.
Dalam
hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga
melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan,
penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan
atas izin Jaksa Agung.
Pasal 9
1.
Syarat-syarat
untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah:
a.
warga
negara Indonesia;
b.
bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
berijazah
paling rendah sarjana hukum;
e.
berumur
paling rendah 25 (dua puluh lima)
tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima)
tahun;
f.
sehat
jasmani dan rohani;
g.
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h.
pegawai
negeri sipil.
2.
Selain
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa,
harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
3.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 10
1.
Sebelum
memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
di hadapan Jaksa Agung.
2.
Sumpah
atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya
bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia
kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia.
bahwa saya senantiasa
menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta
senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan
sungguh-sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, profesional, adil,
tidak membeda-bedakan jabatan, suku,
agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya
dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa,
masyarakat, bangsa, dan negara.
bahwa saya senantiasa
akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan
siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya
yang diamanatkan undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan
sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga.
bahwa saya untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian“.
Pasal 11
1.
Kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi:
a.
pengusaha,
pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha
swasta;
b.
advokat.
2.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain
jabatan atau pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 12
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a.
permintaan
sendiri;
b.
sakit
jasmani atau rohani terus-menerus;
c.
telah
mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
d.
meninggal
dunia;
e.
tidak
cakap dalam menjalankan tugas.
Pasal 13
1.
Jaksa
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a.
dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.
terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya;
c.
melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d.
melanggar
sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
e.
melakukan
perbuatan tercela.
2.
Pengusulan
pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Jaksa.
3.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan
Jaksa, serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 14
1.
Jaksa
yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
2.
Sebelum
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa
yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa
Agung.
3.
Setelah
seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk
membela diri.
Pasal 15
1.
Apabila
terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang
jaksa, dengan sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh Jaksa Agung.
2.
Dalam
hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh
Jaksa Agung.
2.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan
pemberhentian sementara, serta hak-hak jabatan fungsional jaksa yang terkena
pemberhentian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan mengenai tunjangan jabatan
fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Jaksa Agung, Wakil
Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda
Pasal 18
1.
Jaksa
Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
2.
Jaksa
Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung
Muda.
3.
Jaksa
Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.
4.
Jaksa
Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
Pasal 19
1.
Jaksa
Agung adalah pejabat negara.
2.
Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi
Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf
g.
Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a.
pejabat
negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan
perundang-undangan;
b.
advokat;
c.
wali,
kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang sedang
diperiksa olehnya;
d.
pengusaha,
pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha
swasta;
e.
notaris,
notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
f.
arbiter,
badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
g.
pejabat
lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
h.
pejabat
pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 22
1.
Jaksa
Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
meninggal
dunia;
b.
permintaan
sendiri;
c.
sakit
jasmani atau rohani terus menerus;
d.
berakhir
masa jabatannya;
e.
tidak
lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2.
Pemberhentian
dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 23
1.
Wakil
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
2.
Wakil
Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
3.
Yang
dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang
dipersamakan dengan memperhatikan jenjang dan
jabatan karier.
Pasal 24
1.
Jaksa
Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
2.
Yang
dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang
dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi.
3.
Jaksa
Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat
mempunyai keahlian tertentu.
4.
Wakil
Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a.
meninggal
dunia;
b.
permintaan
sendiri;
c.
sakit
jasmani atau rohani terus menerus;
d.
berakhir
masa jabatannya;
e.
tidak
lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 25
1.
Dalam
hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang
dapat menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk
sementara dari jabatannya sebelum diambil tindakan pemberhentian tersebut.
2.
Ketentuan
tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku
pula terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.
Bagian Keempat
1.
Kepala
Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi,
2.
Kepala
Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
Pasal 26
1.
Kepala
kejaksaan tinggi adalah pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan
pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
2.
Kepala
kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai
kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur
pelaksana.
Pasal 27
1.
Kepala
kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan
pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
2.
Kepala
kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur
pelaksana.
3.
Kepala
cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang
kejaksaan di sebagian daerah hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya.
4.
Kepala
cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.
Pasal 28
Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan
tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan negeri, dan kepala
cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan lebih lanjut oleh Jaksa Agung.
Bagian Kelima
Jabatan Fungsional
dan Tenaga Ahli
Pasal 29
1.
Pada
kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan
fungsional jaksa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut
peraturan perundang-undangan.
2.
Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli
atau tenaga tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang
kejaksaan.
3.
Selain
tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat
tenaga ahli bukan dari pegawai negeri.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
1.
Di
bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.
melakukan
penuntutan;
b.
melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c.
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2.
Di
bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah.
3.
Dalam
bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a.
peningkatan
kesadaran hukum masyarakat;
b.
pengamanan
kebijakan penegakan hukum;
c.
pengawasan
peredaran barang cetakan;
d.
pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.
pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
penelitian
dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Pasal 31
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk
menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat
lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau
dirinya sendiri.
Pasal 32
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam
Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang.
Pasal 33
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan
serta badan negara atau instansi lainnya.
Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Bagian Kedua
Khusus
Pasal 35
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a.
menetapkan
serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup
tugas dan wewenang kejaksaan;
b.
mengefektifkan
proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c.
mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum;
d.
mengajukan
kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha
negara;
e.
dapat
mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan
kasasi perkara pidana;
f.
mencegah
atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 36
1.
Jaksa
Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau
menjalani perawatan di
rumah sakit dalam
negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar
negeri.
2.
Izin
secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri
diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung,
sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri
hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
3.
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar
rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri
rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan
dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.
Pasal 37
1.
Jaksa
Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen
demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
2.
Pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 38
Untuk meningkatkan kualitas kinerja
kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan
kewenangannya diatur oleh Presiden.
Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana
yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejaksaan dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli
2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 26 Juli
2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 67
Salinan sesuai dengan
aslinya
Deputi Sekretaris
Kabinet Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd
Lambock V. Nahattands
Tidak ada komentar:
Posting Komentar